Minggu, 15 Mei 2011

Ekonomi


DI SEKTOR PERTANIAN

JAMAN ORDE LAMA
Di era orde lama, yakni ketika pemerintahan yang sah baru saja dibentuk dan bangsa Indonesia masih mengalami problem belajar berdemokrasi, Pertanian di masa itu praktis mengalami masa sulit seiring dengan ketidakstabilan situasi politik yang masih euforia pasca 350 tahun masa kolonialis dengan sistem tanam paksa dan 3,5 tahun kerja rodi.
Di era serba terjepit, para pemimpin negeri ini berkali-kali mencoba mengembangkan formula untuk menyelamatkan pertanian. Program yang dibuat antara lain:
Rencana Kasimo (Kasimo Plan)
Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan I.J.Kasimo. Program ini berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950) mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Inti dari Kasimo Plan adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan menigkatkan produksi bahan pangan. Rencana Kasimo ini adalah:
  • Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA
  • Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul
  • Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan.
  • Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit
  • Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau Jawa dipindahkan ke Sumatera dalam jangka waktu 10-15 tahun
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Sayangnya pemerintahan Orde Lama tidak berlangsung lama, kebijakan distribusi tanah secara adil menurut UU Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan landreform kandas di jaman Orde Baru. Maka, Agrarische Wet yang menjadi dasar bagi Hak Guna Usaha (HGU) para pemodal dan partikelir untuk memeras tanah dan petani kecil terus berlangsung.

JAMAN ORDE BARU
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Latar belakang munculnya revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara:
1.     Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang meliputi :
  • Pemilihan Bibit Unggul
  • Pengolahan Tanah yang baik
  • Pemupukan
  • Irigasi
  • Pemberantasan Hama
2.     Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu  Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).
3.     Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.
4.     Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.
Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau:
Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering perkembangan teknologi dan komunikasi.
Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur, yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.
Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan tertentu.
Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.
Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan komersialisasi.
Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan pembagunan industri pupuk nasional.
Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi Unit Desa).
PELITA
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun). Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
Pelita I(1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian.
Keberhasilan dalam Pelita I yaitu:
  • Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
  • Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil.
  • Perbaikan jalan raya.
  • Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
  • Semakin majunya sektor pendidikan.
Pelita II(1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.
Pelita III(1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan. Asas-asas pemerataan di tuangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatasn kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan,dll
Pelita IV(1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain.
Swasembada Pangan
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
Pelita V(1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

JAMAN ORDE REFORMASI
Pada era reformasi, paradigma pembangunan pertanian meletakkan petani sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai peserta dalam mencapai tujuan nasional. Karena itu pengembangan kapasitas masyarakat guna mempercepat upaya memberdayakan ekonomi petani, merupakan inti dari upaya pembangunan pertanian/pedesaan. Upaya tersebut dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat pertanian menjadi mandiri dan mampu memperbaiki kehidupannya sendiri. Peran Pemerintah adalah sebagai stimulator dan fasilitator, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat petani dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan pada paradigma tersebut maka visi pertanian memasuki abad 21 adalah pertanian modern, tangguh dan efisien. Untuk mewujudkan visi pertanian tersebut, misi pembangunan pertanian adalah memberdayakan petani menuju suatu masyarakat tani yang mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan. Hal ini akan dapat dicapai melalui pembangunan pertanian dengan strategi
Optimasi pemanfaatan sumber daya domestik (lahan, air, plasma nutfah, tenaga kerja, modal dan teknologi)
Perluasan spektrum pembangunan pertanian melalui diversifikasi teknologi, sumber daya, produksi dan konsumsi
Penerapan rekayasa teknologi pertanian spesifik lokasi secara dinamis, dan
Peningkatan efisiensi sistem agribisnis untuk meningkatkan produksi pertanian dengan kandungan IPTEK dan berdaya saing tinggi, sehingga memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani dan masyarakat secara berimbang.
Salah satu langkah operasional strategis yang dilakukan dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas adalah Gerakan Mandiri (Gema) yang merupakan konsep langkah-langkah operasional pembangunan pertanian, dengan sasaran untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandirian petani dalam melaksanakan usaha taninya. Mulai TA 1998/1999 telah diluncurkan berbagai Gema Mandiri termasuk Gema Hortina untuk peningkatan produksi hortikultura.
Gerakan Mandiri Hortikultura Tropika Nusantara menuju ketahanan hortikultura (Gema Hortina), dilaksanakan untuk mendorong laju peningkatan produksi hortikultura. Melalui gerakan ini komoditas hortikultura yang dikembangkan adalah sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat unggulan.
Komoditas yang diutamakan adalah yang bernilai ekonomi tinggi, mempunyai peluang pasar besar dan mempunyai potensi produksi tinggi serta mempunyai peluang pengembangan teknologi. Adapun upaya yang dilaksanakan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya hortikultura unggulan tersebut meliputi penumbuhan sentra agribisnis hortikultura dan pemantapan sentra hortikultura yang sudah ada.
Komoditas unggulan yang mendapat prioritas adalah :
·         Sayuran : kentang, cabe merah, kubis, bawang merah, tomat dan jamur
·         Buah-buahan : pisang, mangga, jeruk, nenas dan manggis
·         Tanaman hias : anggrek
·         Tanaman obat : jahe dan kunyit.
Pada tahun 2000 pemerintah mengurangi dan menghapus bea masuk import beras yang berdampak pada masuknya beras Vietnam, Thailand, Philipine, dan Cina. Sejak itu pula, perjuangan petani Indonesia makin berada pada posisi yang sangat lemah dengan tingkat kesejahteraan/nilai tukar petani yang sangat lemah.


Rabu, 11 Mei 2011

Ekonomi


Kredit Konsumsi Masih Jadi 
Incaran Perbankan Nasional di 2011

Kinerja bank nasional pada 2010 sungguh kinclong untuk meraih target pertumbuhan kredit nasional 22-24%. Tengoklah kinerja bank BUMN pada kuartal III-2010, BRI mencapai laba bersih Rp 6,66 triliun, Bank Mandiri Rp 6,39 triliun, BNI Rp 2,95 triliun, dan BTN Rp 597,24 miliar.

Bagaimana prospek perbankan nasional 2011? Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Oktober 2010 yang terbit 15 Desember 2010 mencatat kredit tahunan (year on year/yoy) tumbuh signifikan 17,94%, dari Rp 1.377,56 triliun menjadi Rp 1.624,73 triliun per Oktober 2010. Kinerja kredit itu ditopang dana pihak ketiga (DPK) yang tumbuh subur 13,59% dari Rp 1.864,08 triliun per Oktober 2009 menjadi Rp2.117,44 triliun per Oktober 2010.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, hingga pekan ketiga Desember 2010 kredit meningkat Rp 7,22 triliun menjadi Rp 1.708,15 triliun. Selama 2010, (year to date/ytd), kredit meningkat Rp 277,95 triliun atau 19,43% sedangkan secara yoy meningkat Rp 316,73 triliun atau 22,76% (Investor Daily, 23/12/10).
Kinerja itu mengerek loan to deposit ratio (LDR) dari 73,90% per Oktober 2009 menjadi 76,73% per Oktober 2010. Dengan bahasa lebih jernih, kemampuan mengemban fungsi sebagai intermediasi keuangan bank nasional kian melejit, meski belum mencapai LDR minimal 78%. Hanya beberapa kelompok bank yang telah memenuhi LDR minimal 78%.
LDR Kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) non-devisa 79,81%, bank campuran 98,69%, dan bank asing 91,24%. Sementara itu, LDR kelompok bank persero masih 77,99%, BUSN devisa 72,57%, dan bank pembangunan daerah (BPD) 69,65% per Oktober 2010. Bila LDR belum mencapai minimal 78% per 1 Maret 2011, mereka wajib membayar penalti berupa tambahan giro wajib minimum (GWM) 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR.
Jempol lagi, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) menipis dari 3,84% menjadi 3,05%. Meski masih jauh di bawah ambang batas 5%, bank nasional wajib mewaspadai kecenderungan kenaikan NPL dari 2,96% per September 2010 yang meningkat menjadi 3,05% per Oktober 2010. Bank nasional pun mampu mendongkrak pencapaian laba dari Rp 62,23 triliun per Oktober 2009 menjadi Rp 75,82 triliun per Oktober 2010.
Hal ini mengangkat return on assets (ROA) dari 2,65% menjadi 2,94% hampir dua kali lipat dari ambang batas 1,5%. Hal ini menyiratkan bahwa kualitas aset bank nasional makin bernas di tengah prahara finansial global yang masih mengancam.
Bagaimana tingkat efisiensi yang tampak pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)? Makin rendah BOPO makin efisien sebuah bank. BOPO bank nasional membaik dari 86,68% menjadi 85,93% meski belum ideal (70- 80%). Tegasnya, bank nasional kian efisien. Kelompok BPD paling efisien dengan BOPO terendah 73,89% di tengah kelompok bank lainnya yang terus berjuang. Lirik saja, BOPO kelompok bank campuran 82,69%, BUSN devisa 86,70%, bank persero 87,47%, bank asing 88,17%, dan BUSN non-devisa 91,94%.
Kredit Konsumsi Apa fokus bank nasional 2011? Bank nasional fokus pada kredit konsumsi dengan mencermati indikator. Pertama, prospek ekonomi nasional menjanjikan, sehingga pertumbuhannya berpotensi mencapai 6,5%, sekalipun diadang inflasi 6%. Dengan dukungan modal bank nasional yang makin perkasa dan net interest margin (NIM) yang masih bertengger tinggi, bank nasional berharap mampu meraih profit tebal.
Berikutnya adalah gelora kredit konsumsi. Boleh dikatakan hampir semua bank nasional papan atas menekuni kredit konsumsi. Kredit yang penuh pesona nan manis ini menawar menawarkan antara lain kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), kredit otomotif, kartu kredit, dan kredit tanpa agunan (KTA).
Kredit konsumsi terbang tinggi 24,82% dari Rp 419,06 triliun per Oktober 2009 menjadi Rp523,07 triliun per Oktober 2010. Padahal, kredit modal kerja hanya tumbuh 21,02% dari Rp 677,22 triliun menjadi Rp 819,58 triliun, sedangkan kredit investasi 18,38% dari Rp 281,28 triliun menjadi Rp 332,99 triliun.
Kredit konsumsi bakal lebih subur lagi ketika fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) kian berkembang mulai Oktober 2010. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 2,68 triliun untuk membangun 72 ribu unit rumah pada 2010 dan Rp 3,5 triliun pada 2011. Bank nasional yang telah ditunjuk pemerintah sebagai bank penyalur FLPP, yakni BTN dan BNI, dan segera menyusul BRI, Bank BRI Syariah, Bank DKI, Bank Syariah Mandiri, dan BPD bakal panen raya. Bank nasional pun mengejar kartu kredit sebagai komponen legit untuk menghimpun laba tinggi.
Lihatlah, BNI menggandeng perguruan tinggi dan lembaga pemerintah dan swasta untuk memperluas basis nasabah. Bank Permata bertekad mendongkrak portofolio bisnis kartu kredit hingga tiga kali lipat dengan mengakuisisi PT GE Finance Indonesia sebagai penerbit kartu kredit nonbank. BTN merangkul Bank Mandiri dengan menargetkan 30 ribu kartu kredit. Hampir semua kelompok bank memburu kartu kredit. Kelompok bank persero dari Rp 5,76 triliun per September 2010 menjadi Rp 6 triliun per Oktober 2010, bank campuran dari Rp 3,12 triliun menjadi Rp3,38 triliun.
Sebaliknya, Kelompok bank asing justru merosot dari Rp 12,81 triliun menjadi Rp 12,54 triliun pada periode yang sama. Ini merupakan tindakan hati-hati mengingat rasio kredit bermasalah (NPL) kartu kredit kelompok ini melaju dari Rp 1,44 triliun per September 2010 menjadi Rp1,52 triliun pada bulan berikutnya.
Indikator lain yang lebih kuat adalah net interest margin (NIM) yang masih tinggi. Rata-rata NIM bank nasional menipis dari 5,75% per September 2010 menjadi 5,73% per Oktober 2010. Bank BUMN sebagai representative bank nasional papan atas masih mengantungi NIM tinggi.
Waspada
Alhasil, kredit konsumsi akan makin basah. Meski rajin menggarap kredit konsumsi, bank nasional sudah sepatutnya tetap waspada. Mengapa? Karena NPL kredit konsumsi cenderung mendaki dari Rp 10,65 triliun per Oktober 2009 menjadi Rp 12,17 triliun per Oktober 2010. Rasio ini bahkan lebih tinggi daripada September 2010 sebesar Rp11,89 triliun.
Bagaimana menguranginya? Dengan menerapkan manajemen risiko kredit dengan dingin. Artinya, tidak terbelenggu dengan aneka surat sakti. Jangan terkecoh oleh tingkat pencapaian target tinggi, tetapi ternyata didominasi penjualan fiktif.