Kredit Konsumsi Masih Jadi
Incaran Perbankan Nasional di
2011
Bagaimana prospek perbankan nasional 2011? Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Oktober 2010 yang terbit 15 Desember 2010 mencatat kredit tahunan (year on year/yoy) tumbuh signifikan 17,94%, dari Rp 1.377,56 triliun menjadi Rp 1.624,73 triliun per Oktober 2010. Kinerja kredit itu ditopang dana pihak ketiga (DPK) yang tumbuh subur 13,59% dari Rp 1.864,08 triliun per Oktober 2009 menjadi Rp2.117,44 triliun per Oktober 2010.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, hingga pekan ketiga Desember 2010 kredit meningkat Rp 7,22 triliun menjadi Rp 1.708,15 triliun. Selama 2010, (year to date/ytd), kredit meningkat Rp 277,95 triliun atau 19,43% sedangkan secara yoy meningkat Rp 316,73 triliun atau 22,76% (Investor Daily, 23/12/10).
Kinerja itu mengerek loan to deposit ratio (LDR) dari 73,90% per Oktober 2009 menjadi 76,73% per Oktober 2010. Dengan bahasa lebih jernih, kemampuan mengemban fungsi sebagai intermediasi keuangan bank nasional kian melejit, meski belum mencapai LDR minimal 78%. Hanya beberapa kelompok bank yang telah memenuhi LDR minimal 78%.
LDR Kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) non-devisa 79,81%, bank campuran 98,69%, dan bank asing 91,24%. Sementara itu, LDR kelompok bank persero masih 77,99%, BUSN devisa 72,57%, dan bank pembangunan daerah (BPD) 69,65% per Oktober 2010. Bila LDR belum mencapai minimal 78% per 1 Maret 2011, mereka wajib membayar penalti berupa tambahan giro wajib minimum (GWM) 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR.
Jempol lagi, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) menipis dari 3,84% menjadi 3,05%. Meski masih jauh di bawah ambang batas 5%, bank nasional wajib mewaspadai kecenderungan kenaikan NPL dari 2,96% per September 2010 yang meningkat menjadi 3,05% per Oktober 2010. Bank nasional pun mampu mendongkrak pencapaian laba dari Rp 62,23 triliun per Oktober 2009 menjadi Rp 75,82 triliun per Oktober 2010.
Hal ini mengangkat return on assets (ROA) dari 2,65% menjadi 2,94% hampir dua kali lipat dari ambang batas 1,5%. Hal ini menyiratkan bahwa kualitas aset bank nasional makin bernas di tengah prahara finansial global yang masih mengancam.
Bagaimana tingkat efisiensi yang tampak pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO)? Makin rendah BOPO makin efisien sebuah bank. BOPO bank nasional membaik dari 86,68% menjadi 85,93% meski belum ideal (70- 80%). Tegasnya, bank nasional kian efisien. Kelompok BPD paling efisien dengan BOPO terendah 73,89% di tengah kelompok bank lainnya yang terus berjuang. Lirik saja, BOPO kelompok bank campuran 82,69%, BUSN devisa 86,70%, bank persero 87,47%, bank asing 88,17%, dan BUSN non-devisa 91,94%.
Kredit Konsumsi Apa fokus bank nasional 2011? Bank nasional fokus pada kredit konsumsi dengan mencermati indikator. Pertama, prospek ekonomi nasional menjanjikan, sehingga pertumbuhannya berpotensi mencapai 6,5%, sekalipun diadang inflasi 6%. Dengan dukungan modal bank nasional yang makin perkasa dan net interest margin (NIM) yang masih bertengger tinggi, bank nasional berharap mampu meraih profit tebal.
Berikutnya adalah gelora kredit konsumsi. Boleh dikatakan hampir semua bank nasional papan atas menekuni kredit konsumsi. Kredit yang penuh pesona nan manis ini menawar menawarkan antara lain kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), kredit otomotif, kartu kredit, dan kredit tanpa agunan (KTA).
Kredit konsumsi terbang tinggi 24,82% dari Rp 419,06 triliun per Oktober 2009 menjadi Rp523,07 triliun per Oktober 2010. Padahal, kredit modal kerja hanya tumbuh 21,02% dari Rp 677,22 triliun menjadi Rp 819,58 triliun, sedangkan kredit investasi 18,38% dari Rp 281,28 triliun menjadi Rp 332,99 triliun.
Kredit konsumsi bakal lebih subur lagi ketika fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) kian berkembang mulai Oktober 2010. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 2,68 triliun untuk membangun 72 ribu unit rumah pada 2010 dan Rp 3,5 triliun pada 2011. Bank nasional yang telah ditunjuk pemerintah sebagai bank penyalur FLPP, yakni BTN dan BNI, dan segera menyusul BRI, Bank BRI Syariah, Bank DKI, Bank Syariah Mandiri, dan BPD bakal panen raya. Bank nasional pun mengejar kartu kredit sebagai komponen legit untuk menghimpun laba tinggi.
Lihatlah, BNI menggandeng perguruan tinggi dan lembaga pemerintah dan swasta untuk memperluas basis nasabah. Bank Permata bertekad mendongkrak portofolio bisnis kartu kredit hingga tiga kali lipat dengan mengakuisisi PT GE Finance Indonesia sebagai penerbit kartu kredit nonbank. BTN merangkul Bank Mandiri dengan menargetkan 30 ribu kartu kredit. Hampir semua kelompok bank memburu kartu kredit. Kelompok bank persero dari Rp 5,76 triliun per September 2010 menjadi Rp 6 triliun per Oktober 2010, bank campuran dari Rp 3,12 triliun menjadi Rp3,38 triliun.
Sebaliknya, Kelompok bank asing justru merosot dari Rp 12,81 triliun menjadi Rp 12,54 triliun pada periode yang sama. Ini merupakan tindakan hati-hati mengingat rasio kredit bermasalah (NPL) kartu kredit kelompok ini melaju dari Rp 1,44 triliun per September 2010 menjadi Rp1,52 triliun pada bulan berikutnya.
Indikator lain yang lebih kuat adalah net interest margin (NIM) yang masih tinggi. Rata-rata NIM bank nasional menipis dari 5,75% per September 2010 menjadi 5,73% per Oktober 2010. Bank BUMN sebagai representative bank nasional papan atas masih mengantungi NIM tinggi.
Waspada
Alhasil, kredit konsumsi akan makin basah. Meski rajin menggarap kredit konsumsi, bank nasional sudah sepatutnya tetap waspada. Mengapa? Karena NPL kredit konsumsi cenderung mendaki dari Rp 10,65 triliun per Oktober 2009 menjadi Rp 12,17 triliun per Oktober 2010. Rasio ini bahkan lebih tinggi daripada September 2010 sebesar Rp11,89 triliun.
Bagaimana menguranginya? Dengan menerapkan manajemen risiko kredit dengan dingin. Artinya, tidak terbelenggu dengan aneka surat sakti. Jangan terkecoh oleh tingkat pencapaian target tinggi, tetapi ternyata didominasi penjualan fiktif.
0 komentar:
Posting Komentar