review jurnal ekonomi koperasi 6
Nama Kelompok : Airin Akte Savira / 20210444
Dessy lestari / 21210848
Juni Erbina Saragih / 23210813
Siti Amanah / 26210579
Yuli Chatrine Castro /28210741
Review Jurnal Ekonomi Koperasi
Judul : MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT
Sumber: http://ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_4.htm
ABSTRAK
Tujuan
penulisan ini bertujuan untuk lebih memahami membangun koperasi yang
berbasis anggota dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat.dari hasil
pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa banyaknya faktor yang mendorong
untuk terwujudnya koperasi untuk lebih membantu mengembangkan ekonomi
rakyat.
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Setelah
melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru
yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi
yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran
koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana
strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang.
Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai
pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut, maka
koperasi dipandang memiliki arti yang strategis pada masa yang akan
datang.
2.Uraian Teoritis
A. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Keberadaan
beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat,
walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Setidaknya terdapat tiga
tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama,
koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan
usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.
Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau
perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Pada tingkatan
ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak
diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat
melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan. Peran koperasi ini
juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada
pelayanan dari bentuk lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran
beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi
anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk
memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang
dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati
pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua,
koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi
ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih
baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga
bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang
melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi
yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang
lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk
beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat
dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha
lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit.
Ketiga,
koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki
ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu
bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan
loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi
menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan
menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi,
loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana
yang ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan
dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya
melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari
dayatarik bunga bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud
peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi
organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih
baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun
diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi
koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat
karena berbagai faktor. Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi
menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak
melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat.
Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara
keseluruhan.
Pada
masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha
koperasi. Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran
ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan
kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha
bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta
pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya)
dari kegiatan anggota. Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk
mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha
anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain
(pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk
praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini. Namun
alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber
perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat
kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya
belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan
kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi
oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi
pola hubungan bisnis. Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan
koperasi dan anggota di KUD. Akibatnya sering terjadi “koperasi yang
tidak berkoperasi” atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus” dan
“koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang
berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang
saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak,
anggota dipihak lainnya.
Dari
beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan
anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan
proses. Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang
anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka
kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan
bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian
berkembang menjadi loyalitas. Pola yang tidak hanya ‘hubungan bisnis’
tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi. Hal ini
ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak
KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru
menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah
anggota.
B. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
Berdasarkan
pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak
yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan
koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan
beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran
koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda
antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi
yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup.
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
Masyarakat
yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan
kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan
prasyarat bagi keberdaan koperasi. Kesadaran ini akan menjadi motivasi
utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau secara ‘bottom-up’.
Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian. Dengan
demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada
diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri.
Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang atau komplemen
bagi kemampuan sendiri tersebut.
2. Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi.
Koperasi
pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk
prinsip-prinsip dasar. Wujud praktisnya, termasuk struktur
organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan
anggotanya. Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari
bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan
diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan
dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota. Pengalaman
pengembangan KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan
ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan
KUD yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif
dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan
organisasi dan kegiatannya.
3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
Faktor
pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi
terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak
dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain. Oleh sebab itu
pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi,
partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada
masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu
koperasi. Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan
menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi. Sehingga salah satu faktor
fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan
prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan
organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut
tidak dapat terjadi dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses
pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama
dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan
tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik menyangkut
implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi
yang universal tersebut. Dengan demikian proses pengembangan pemahaman
nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan
koperasi.
4.
Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan
masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal
keanggotaan koperasi.
Hal
ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan
perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan
menjadi anggota atau tidak menjadi anggota. Jika terdapat kejelasan atas
keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak
dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk
menjadi anggota koperasi. Pada gilirannya hal ini kemudian akan
menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada
organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu
sendiri.
5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
Kegiatan
usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang
berkait dengan kepentingan anggota. Salah satu indikator utama
keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota
berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu
jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi,
sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi
masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
Biaya
transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam
melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan
dengan tanpa koperasi. Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan
koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis. Jika
biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan
koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar
dibandingkan lembaga lain. Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan
oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat
dipertahankan dalam sistem koperasi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan
bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi
adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi
ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan
anggotanya. Hal ini memang merupakan salah satu catatan penting yang
harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang
sentralistik seperti yang dianut saat ini.
Jika
koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara
usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu
strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk
mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan
pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator
keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota
harus menjadi salah satu indikator utama.
6.
Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian
faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.
Jika
dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat
dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus
juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari
suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan
emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin
terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’.
Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada
masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif
‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang
telah menajdi sangat individualis, dan berorientasi kapital. Dengan
perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal
disemua bentuk komunitas.
Sebagai
bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka
perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat
bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu
organisasi usaha konvensional. Proses yang dilakukan dalam pengembangan
koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor
“non-bisnis” yang kuat pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai
faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain,
seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk
memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.
c. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam
kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia
usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dalam
masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha
(bisnis). Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi
penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial.
Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk
beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa
koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan
kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama
dalam bisnis yang bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi
terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk
usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar
kecamatan wilayah kerjanya masing-masing. Pada koperasi-koperasi
tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya
dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia.
Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru
kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam melaksanakan
kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas)
merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan
tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi
ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu
sendiri.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal
yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan
usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak
berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga
akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota
atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA). Hal
yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha
dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek
hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan.
Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha
selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Hal ini terlihat misalnya
dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan
sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi
(KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk
melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya,
bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya. Koperasi tersebut
juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa
harus bertanya. Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi di
Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi
pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam
ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan
kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai
permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa
pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah
menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli
oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing
dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut.
Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah
ditentukan oleh pemerintah. Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha
kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya,
atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan
persyaratan presisi produk yang dihasilkan. Contoh-contoh diatas
memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi
cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan
para pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai
bidang usaha lain di berbagai tempat.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Konsentrasi
pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi
sebagai satu perusahaan (badan usaha). Tantangan untuk membangun
perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat
dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha
antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara
banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi
oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan
usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial
untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan
sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain,
koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya
adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar
koperasi. Mengenai hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia,
saat ini banyak yang bersifat artifisial karena antara primer dan
sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak
jarang justru saling bersaing.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan
usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih
lemah. Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk
mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak
kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan dalam suatu
proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari
dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan
kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di
masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak,
seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak
selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan
organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu,
justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai
persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya.
Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak
dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat
dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi,
padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti.
Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan
koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu
sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut
mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga
menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan
kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan
sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan. Memperbaiki dan
meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan
yang harus segera mendapat perhatian.
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para
pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan
dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana
bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya
dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi tersebut juga dapat
dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan
kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional.
Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi
penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian
vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi)
tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota
koperasi atau koperasi itu sendiri. Kelembagaan yang diadakan pemerintah
untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk
menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru
berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri. Demikian pula
dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar
kiprahnya. Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang
dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu
diperhatikan berbagai kepentingannya.
3.Kesimpulan
Beberapa
pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua
prasyarat. Pertama, pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah
pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan menghindari
pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari
lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu
mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri. Dalam hal
ini proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi
faktor kunci yang sangat menentukan. Kedua, diperlukan kerangka
pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang
disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki
semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat. Dengan demikian
strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang
partisipatif. Hal ini akan membutuhkan perubahan pendekatan yang
mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini diterapkan.
Rekonsptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi
faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif
ini.