Review Jurnal Ekonomi Koperasi 5
Dessy
lestari / 21210848
Juni
Erbina Saragih / 23210813
Siti
Amanah / 26210579
Yuli
Chatrine Castro /28210741
MENGEMBANGKAN
KOMPETENSI INTI DAN KONSEP BISNIS KOPERASI:
ABSTRAKSI
Penelitian
ini bertujuan melakukan pengembangan kompetensi inti dan konsep bisnis koperasi sesuai realitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia
berbasis ekonomi rakyat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif,
yaitu Beyond Structuralism. Beyond
Structuralism mensinergikan antropologi strukturalis sinkronis (kontekstual) dan postrukturalis diakronis (masa lalu). Metodologi
dijalankan dengan metode Constructivist
Structuralism-nya Pierre Bourdieu untuk mengetahui secara empiris (habitus, capital, field dan practice) aktivitas
bisnis koperasi di Indonesia. Tahap
pertama, teoritisasi antropologis melalui sinergi antropologi sinkronis
(realitas bisnis koperasi kontekstual)
dan antropologi diakronis (realitas bisnis koperasi fase awal). Tahap kedua, melakukan sinergi keduanya untuk menemukan
benang merah konsep kemandirian berbisnis
koperasi secara empiris di lapangan Teoritisasi diperlukan untuk merumuskan Konsep Kemandirian Koperasi. Hasilnya, konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan
sinergi produktifintermediasi- retail
merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini
banyak tereduksi intervensi
kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan,regulasi, supporting
movement, dan strategic positioning berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan
sinergi produktifintermediasi- retail
yang komprehensif.
Kata
kunci: Koperasi ala Indonesia, kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan, ekonomi rakyat, sinergi produktif-intermediasi-retail.
1
Dipresentasikan dalam Diskusi Panel Kajian Koperasi: Peluang dan Prospek Masa
Depan. Kementrian
Negara
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Universitas Negeri Malang. 10 Desember
2007.
2
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya.
Direktur
Lembaga Riset Keuangan Syari’ah Universitas Cokroaminoto Yogyakarta.
1. PENDAHULUAN
Perkembangan
ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi3,4. Teknologi informasi secara
langsung maupun tidak langsung kemudian
mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi
Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra
2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism
merupakan puncak pelaksanaan 10
kebijakan Washington Consencus tahun 1989. Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hapir seluruh sistem
perekonomian Indonesia. Bentuk
neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro
ekonomi. Neoliberalismejuga dilakukan melalui deregulasi dan
liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam
lingkaran global, lintas batas negara-negara5. Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui
amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas
demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat
(ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945.
Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau
neoliberalisme. Kekeliruan lebih serius dari
amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata
”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi
Pembagian
dua arus utama di sini hanya untuk memudahkan penjelasan saja. Keduanya dapat
berdiri sendiri, saling memengaruhi,
atau salah satu memengaruhi lainnya, sesuatu yang mungkin benar semuanya. Arus teknologi informasi melaju bak Juggernaut (istilah
Anthony Giddens dalam melihat perkembangan
yang
cepat seperti truk yang melaju kencang tak terkendali) sejak proyek Arpanet
menemukan bagaimana melakukan pertukaran pesan
dan informasi melalui komputer. Gerakan ini tak pelak berdampak di hamper seluruh sisi peradaban. Mulai pola hidup, dunia bermain anak,
hubungan sosial-politik-ekonomi-budaya, ilmu
pengetahuan, teknologi, sistem informasi publik, bahkan sistem pendidikan kita
tidak ketinggalan. Tidak ada lagi sisi
peradaban yang tak terpola dengan ”buah” teknologi informasi. Buah dari
teknologi informasi seperti komputer,
internet, alat komunikasi dan lainnya. Deregulasi
misalnya lewat UU Migas, UU Listrik, Revisi UU Perpajakan, UU Penanaman Modal,
UU Pendidikan, dan lainnya.
Liberalisasi misalnya terhadap BUMN, Perguruan Tinggi dan sistem pendidikan lain, pangan, retail, sampai “everything they want”.
ekonomi
yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat,
yaitu diselenggarakandengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas
memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa
liberalisme. Bagaimana koperasi sendiri?
Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic
positioning” sebagai wadah anggotanya
”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing
anggota, atau malah manajer dan atau
pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi
sokoguru perekonomian Indonesia? Apakah
jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah berkumpulnya koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi
Indonesia6 (Dekopin 2006)? Atau dengan
salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri
Negara
Koperasi dan UKM berkenaan dengan realisasi 70.000 Koperasi Berkualitas tahun
2009? Banyak sudah program-program
prestisius pengembangan koperasi. Koperasi juga
tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai
dari akademis (penelitian, pelatihan,
seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif
(legislasi dan perundang-undangan),
kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan
lembaga-lembaga profesi), sosiologis
(pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan
sinergis-konstruktif (program
6
Pencanangan program aksi Dekopin terdiri dari program dukungan ketahanan pangan
nasional
(pengembangan
pupuk organik, pemasyarakatan pupuk majemuk dan pupuk organik, pengembangan tanaman kedelai), program bio energi (pengembangna pembibitan dan
penanaman jarak pagar, pengembangan industri bio
energi), program perumahan (pengembangan perumahan koperasi sehat sederhana), program keuangan mikro dan koperasi (pengembangan
jaringan KSP/USP Swamitra Nusa Madani),
program e-commerce Dekopin.
1.1.
Permasalahan
Tetapi
ternyata, seluruh ”treatment” tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan beberapa masalah mendasar koperasi. Pertama, seperti diungkapkan
Soetrisno (2002) bahwa ciri utama
perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan tiga pola penitipan kepada program, yaitu pembangunan sektoral seperti koperasi
pertanian, koperasi desa, KUD; (2) lembaga-lembaga
pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; serta (3) perusahaan negara maupun swasta berbentuk
koperasi karyawan. Tiga pola tersebut
menurut beliau berakibat prakarsa mayarakat kurang berkembang, kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana
mestinya. Masalah kedua, koperasi,
lanjut Soetrisno (2002) juga dikembangkan untuk mendukung program pemerintah berbasis sektor primer dan distrubusi
yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi
penduduk Indonesia7. Ketika program tersebut gagal, maka koperasi harus memikul beban kegagalan program. Sementara koperasi
yang berswadaya praktis tersisihkan dari
perhatian berbagai kalangan termasuk peneliti dan media massa. Dalam pandangan pengamat internasional (Sharma 1992), Indonesia
mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang
melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.
Ketiga,
masalah mendasar koperasi berkenaan prinsip dasar ekonomi. Hatta
(1947,
56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi, memiliki tiga rantai utama, yaitu
perniagaan
mengumpulkan, perantaraan dan membagikan8. Ketika sistem ekonomi hanya
berputar
pada kepentingan perdagangan dan menegasikan kepentingan perniagaan
pengumpulan
maupun membagikan, maka yang terjadi adalah penumpukan kekayaan
pada
titik perniagaan perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang dominan.
Dampaknya
adalah reduksi kepentingan produsen, konsumen, bahkan alam. Bentuk
7
Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian
didukung dengan
program
pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk
mendukung
program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang selama PJP I,
menjadi
ciri
yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara
eksplisit ditugasi
melanjutkan
program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank
pemerintah,
seperti
penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan
lain-lain
sampai
pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
8
Perniagaan mengumpulkan berada dalam domain ekonomi produksi, perniagaan
perantaraan berada
dalam
domain perdagangan antara perusahaan besar, sedangkan perniagaan membagikan
adalah pertemuan
antara
pedagang dan pembeli.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 4
Ekonomi
versi Hatta tersebut, kita sebut saja Ekonomi Natural, sebenarnya mengingatkan
kita
bahwa ekonomi jangan hanya dijalankan dengan menekankan mekanisme
perdagangan
(intermediasi), dan menganaktirikan produksi (seperti bertani,
pertambangan,
berkebun, kerajinan, dan lainnya) serta retail (berdagang eceran).
Ekonomi
Natural dengan demikian merupakan ekonomi produktif, intermediasi,
sekaligus
pertukaran untuk keseimbangan individu, masyarakat, alam dan akuntabilitas
kepada
Allah SWT.
Keempat,
data perkoperasian Indonesia sampai tahun 2006, dijelaskan Jauhari
(2006)
didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi karyawan, koperasi
pegawai
dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi tertentu baik pemerintah
maupun
swasta. Koperasi seperti itu jelas membatasi keanggotaan dan memiliki sifat
stelsel
pasif. Biasanya koperasi fungsional merupakan bentuk ekonomi
intermediasi
untuk
memenuhi kebutuhan anggota, seperti swalayan, klinik, praktik dokter bersama,
dan
lain-lain. Koperasi fungsional seperti ini juga memiliki sifat subordinasi.
Misal
koperasi
karyawan PLN dan AKLI, tujuannya memenuhi kebutuhan penyediaan bahanbahan
produksi
PLN. Bahkan menurut Jauhari (2006) bentuk koperasi fungsional sangat
mungkin
bertentangan dengan tiga prinsip ICA. Prinsip Pertama, yaitu keanggotaan
sukarela
dan terbuka. Kedua, Prinsip Kedua, yaitu kontrol anggota yang demokratis.
Ketiga,
Prinsip Keempat, yaitu otonomi dan independen.
Kelima,
dari sudut bisnis, keempat masalah koperasi di atas berdampak pada
hilangnya
sense untuk melakukan identifikasi apa yang disebut Prahalad dan Hamel
(1990)
sebagai kompetensi inti (core competencies). Bisnis koperasi selama ini
tidak
dapat
mengidentifikasi keunikan dirinya. Koperasi – akibat kemanjaan dan intervensi –
hanya
dapat melakukan identifikasi core product. Padahal bila dilihat dari
konsep bisnis,
core
competencies merupakan "jantung" organisasi atau perusahaan,
sedangkan produk
merupakan
implementasi dari core competencies tersebut untuk menghasilkan nilai
tambah
organisasi bisnis. Core competencies perlu didesain melalui kejelasan
visi dan
misi
organisasi. Sehingga konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis,
produk
sampai sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 5
Berdasarkan
beberapa masalah di atas penelitian ini mencoba untuk menjawab
pertanyaan,
apakah aktivitas bisnis koperasi memiliki kreasi pemberdayaannya sendiri,
otonom-independen,
sesuai mekanisme naturalitas ekonominya, dan memiliki core
competence-nya
sendiri? Penelitian ini akan membahas bagaimana mengembangkan
koperasi
yang sebenarnya dari realitas masyarakat Indonesia. Pengembangan koperasi di
sini
tidak menolak proyek-proyek prestisius untuk kemajuan koperasi. Idealisme
koperasi
seperti
itu harus tetap dikedepankan sebagai salah satu pemicu semangat agar koperasi
tetap
memiliki ruh perjuangan ekonomi rakyat. Tetapi perlu diingat, koperasi harus
tetap
sesuai
jati dirinya sendiri. Seperti ungkapan mayoritas anggota International
Cooperation
Association
(ICA) bahwa koperasi akan menjadi yang terbaik bila mereka
menjadi
dirinya sendiri.
1.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah, pertama, menggali konsep-konsep genuine
berekonomi
dari realitas masyarakat Indonesia; kedua, menempatkan konsep genuine
berekonomi
sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala Indonesia; ketiga,
menunjukkan
bukti empiris bahwa ternyata masyarakat Indonesia memang memiliki
keunikan
tersendiri memahami koperasi; keempat, memberikan masukan konstruktif bagi
pengambil
kebijakan perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.
1.3.
Struktur Isi Artikel
Artikel
disusun dalam 6 bagian utama. Bagian pertama, pendahuluan, terutama
menjelaskan
tentang latar belakang, masalah, tujuan penelitian dan struktur isi artikel.
Bagian
kedua dan ketiga merupakan penjelasan teori yang digunakan. Bagian kedua
menjelaskan
mengenai koperasi sebagai operasionalisasi ekonomi rakyat. Bagian ketiga
menjelaskan
mengenai konsep core competencies bisnis. Bagian keempat menjelaskan
mengenai
metodologi penelitian dan metode yang digunakan untuk melakukan
pengembangan
konsep bisnis koperasi. Bagian kelima adalah pembahasan temuan
penelitian.
Bagian keenam catatan akhir dan agenda ke depan.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 6
2.
KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Sarman
(2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada
kepentingan
ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan
pembangunan
yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar
pembangunan
ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat
misalnya
pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan
budaya
yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan
budaya
menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto
(2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan
pada
teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya
pada
aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu
ekonomi
adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman
pembangunan
Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalahmasalah
masyarakat
Indonesia dewasa ini.
Logika
modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan
pemberdayaan
berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan privat
dan
publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi karena
menurut
Nugroho
(2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga bersifat makro,
obyektif
serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi para pemilik
modal,
birokrasi,
asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya.
Masalahnya
mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan
eksistensi
individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan
intermediasi
privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions)
di
satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti publik,
sehingga
mampu
mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.
Hanya
masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme
dan
telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak
bersesuaian
dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa
neoliberalisme
telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham
liberal
menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung
menegasikan
bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan
lembaga
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 7
intermediasi
(seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi)
cenderung
dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi
rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi
intermediasi
dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi,
malah
menjadi
representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar
mematikan
dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau
demokrasi
ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan
pengkerdilan
usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan
konsumsi
yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat,
sedangkan
pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
Bentuk
Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas
dan
kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki
diferensiasi
dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk
koperasi
yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara.
Definisi
koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992
tentang
Perkoperasian,
yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan
hukum
koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan
ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi
tersebut
memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi
rakyat.
Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi
dengan
asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci,
ekonomi
rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat
memerlukan
definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Usulan
Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi
sosial
yang mendasar, “an effective development state”. “An effective
development state”
adalah
suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari
kepentingan
pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan
untuk
memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang
dipegangnya,
(3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro
keadilan,
anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi
integritas,
menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 8
untuk
semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft
state”,
yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan
hukum
terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi
sosial
yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang kita
inginkan
ialah
rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.
3. CORE
COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad
dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti (core competencies)
sebagai
suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi
memiliki
positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan.
Organisasi
mempunyai
kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang
membedakan
(differentiating competencies). Kompetensi- kompetensi yang perlu adalah
semua
kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan
adalah
kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok
organisasi
suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).
Hamel
dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu
memperhatikan
keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan
dan
kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan
begitu,
strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak suatu
organisasi
untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama
pengelolaan
sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam
jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif
perusahaan
dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang tangguh di
era
kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential
advantage.
Berikut penjelasannya:
…are
all converging on similar and formidable standards for product cost and quality
–
minimum hurdles for continued competition, but less and less important as
sources of
differential
advantage.
Sedangkan
jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada
kemampuan
untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih
mengedepankan:
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 9
Management
ability to consolidate corporatewide technologies and production skills
into
competencies that empower individual business to adapt quickly to changing
opportunities.
Mudahnya,
kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka
pendek
memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai
kemampuan
produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi
dengan
kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan
ketangguhan
dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi
melakukan
bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu
hanya
bersifat
jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat
menjalankan
going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah,
diperlukan
core competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan
“collective
learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar
dapat
menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing
streams
of
technology” dan “decisively in services”.
4.
METODOLOGI PENELITIAN: BEYOND STRUKTURALISM
Pengembangan
bisnis koperasi dalam penelitian ini menggunakan metodologi Beyond
Strukturalism,
diadaptasi dari metodologi Hiperstrukturalisme yang dikembangkan
Mulawarman
(2006). Beyond Strukturalism memiliki dua tahapan, pertama,
pengembangan
metodologi, dan kedua, penerapannya berbentuk metode penelitian.
Suriasumantri
(1985, 328) menjelaskan bahwa metodologi penelitian adalah
“pengetahuan
tentang metode” yang dipergunakan dalam penelitian. Berdasarkan hal
tersebut
pengembangan metodologi dalam penelitian ini merupakan proses pendefinisian,
penjelasan,
dan pembuatan kerangka umum dari metode yang akan digunakan.
Salah
satu yang harus ditentukan pada metodologi penelitian adalah metode dan
tujuan
penelitian (Suriasumantri 1985, 328). Setelah dilakukan pengembangan
metodologi
penelitian, tahap kedua adalah menerjemahkan kerangka umum metode
dalam
prosedur penelitian secara eksplisit dan sistematis. Metode sendiri menurut
Senn
dalam
Suriasumantri (1985, 119) merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu
yang
mempunyai langkah-langkah sistematis. Dengan demikian yang dilakukan di sini
adalah
penyusunan prosedur metodologi yang telah dikembangkan pada tahap pertama.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 10
4.1.
Tahap Pertama: Rumusan Umum Metodologi
Beyond
Structuralism dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme9 dan
postrukturalisme10.
Strukturalisme digunakan, pertama, untuk mendalami interkoneksi
unsur-unsur
pembentuk realitas; kedua, mencari struktur di balik unsur-unsur maupun di
balik
realitas empiris pembentuk unsur; ketiga, menemukan binary opposition unsurunsur
realitas;
dan keempat, menggali substansi unsur-unsur realitas secara sinkronis di
lapangan
pada rentang waktu yang sama (bukan diakronis/perkembangan antar waktu).
Postrukturalisme
digunakan untuk melampaui strukturalisme dalam melihat
realitas
tersembunyi di luar unsur dan realitas, mulai dari tulisan (writing),
jejak (trace),
perbedaan
sekaligus penundaan tanda (differance), serta hasil penundaan (arche-writing).
Postrukturalisme
juga melakukan proses penggalian unsur-unsur realitas melalui konteks
integasi
sinkronis-diakronis. Integrasi yang dimaksud adalah penggalian antropologis
tidak
hanya berdasarkan rentang waktu yang sama (sinkronis) tetapi juga perkembangan
antar
waktu (diakronis). Teknisnya, penggalian integrasi empiris dilakukan saling
silang
makna
aktivitas bisnis koperasi saat ini (sinkronis) maupun masa lampau seperti ide
koperasi
dari Hatta (diakronis).
4.2.
Tahap Kedua: Bentuk Metode Sebagai Turunan Metodologi
Metode
penelitian menggunakan “ekstensi” Strukturalisme dan Postrukturalisme.
Ekstensi
merupakan perluasan keduanya agar dapat digunakan secara empiris di
lapangan.
Ekstensi empiris menggunakan metodologi Constructivist Structuralism
(Wainwright
2000) versi Bourdieu (1977; 1989).
Constructivist
Structuralism (selanjutnya disingkat CS) selalu menginginkan titik
temu
teori dan praktik yang mungkin (Mahar et al. 2005) melibatkan field (ruang
sosial)
dan habitus
(perilaku individu tanpa sadar) (Bourdieu 1977). Unsur penting CS bahwa
tiap
individu dalam realitas (practice) menjalankan produk sosial (field)
sekaligus
dipengaruhi
kerangka pikir (habitus) dan membentuk perilaku individu (Bourdieu dan
Wacquant,
1992).
9
Strukturalisme merupakan usaha menemukan struktur umum yang terdapat dalam
aktivitas manusia
(Ritzer
2003). Struktur sebagai “sebuah unit yang tersusun dari beberapa elemen dan
selalu memiliki
hubungan
dalam suatu ‘aktivitas’ yang tergambar. Unit tidak bisa dipecah dalam
elemen-elemen tunggal.”
(Spivak
1974; dalam Ritzer 2003, 51).
10
Postrukturalisme merupakan antitesis strukturalisme. Derrida menjelaskan bahwa
selalu ada suatu
realitas
bersembunyi di belakang tanda; selalu ada sesuatu tersembunyi di balik kehadiran
sesuatu. Ia
adalah
realitas dan hubungan dalam realitas (Ritzer 2003, 204).
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 11
Menurut
Bourdieu setiap individu dalam realitas (practice) tidak semata-mata
menjalankan
produk sosial tetapi juga dipengaruhi kerangka pikir dan menterjemah
dalam
perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Habitus dapat dikatakan
sebagai
“blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam Wainwright 2000,
10).
Artinya,
habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus merupakan hasil
pembelajaran
lewat
pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti luas.
Pembelajaran
terjadi secara halus (disebut doxa oleh Bourdieu), tidak disadari dan
tampil
sebagai
hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi alam.
Proses
rekonstruksi bisnis koperasi melalui “ekstensi” Constructivist
Structuralism
dilakukan melalui habitus, field, capital dan practice.
Artinya, fase ini
merupakan
proses empiris untuk membuktikan bahwa sebenarnya terdapat nilai-nilai
yang
dapat dijadikan source koperasi sesuai nilai mereka sendiri (habitus)
secara
material-batin-spiritual.
Proses
penelitian dilakukan, pertama, penggalian data tertulis baik akademis
maupun
kegiatan perkoperasian. Kedua, pengamatan, wawancara dan pendalaman makna
dan
simbol dari informan yang melakukan aktivitas bisnis koperasinya. Informan
penelitian
yaitu, pertama, Pak Sulaiman, salah satu reporter PIP; kedua, Pak Naryo,
pengurus
Dekopinda salah satu kota di Jawa Timur; Pak Aris, pengurus koperasi primer
di
Kediri; keempat, Pak Rahmat pengurus BMT di salah satu kota Jawa Tengah;
kelima,
Pak
Budiman manajer salah satu koperasi serba usaha di Jawa Timur. Rerangka
konseptual
penelitian dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut:
Gambar
1. Rerangka Konseptual Penelitian
Temuan
Diakronis
(Pemikiran
Koperasi
Awal)
Prinsip-prinsip
Koperasi
Temuan
Sinkronis
(Empiris
Kontekstual)
Ekstensi
Constructivist
Structuralism
Konsep
dan Bentuk
Pemberdayaan
Koperasi
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 12
5.
PEMBAHASAN: INTERAKSI REALITAS SINKRONIS-DIAKRONIS
Penelusuran
substansi konsep diri koperasi dilakukan secara diakronis, sinkronis dan
melakukan
sinergi keduanya. Penelusuran diakronis yaitu melakukan pendalaman aspek
antropologis
pikiran ekonomi koperasi dan penerjemahannya di lapangan masa pra
kemerdekaan
sampai kemerdekaan (mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta
menjadi
Wapres). Penelusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis
beberapa
aktivitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia. Sinergi diakronis dan
sinkronis
dilakukan untuk menemukan titik temu sekaligus substansi konsep koperasi.
5.1.
Penelusuran Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan
koperasi di Indonesia menurut dimulai sejak tahun 1896 yang
selanjutnya
berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang (Masngudi 1990;
Tambunan
2007). Perkembangan koperasi di Indonesia menurut Masngudi (1990)
mengalami
pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara
menyeluruh
yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Mulai
dari kegiatan simpan-pinjam, penyediaan barang-barang konsumsi, penyediaan
barang-barang
keperluan produksi.
Pertumbuhan
koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja (1896),
mendirikan
koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam
menganjurkan
berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Sarekat Islam lebih
konkrit
lagi mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari
dengan
cara membuka took-toko koperasi. Berkembang pula di awal-awal koperasi
Syirkatul
Inan milik NU tahun 1918 di Jombang. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh
Partai
Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan
keputusan
kongres 1929 bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera
harus
didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di
Indonesia
pada umumnya. Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938
memutuskan
tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia,
terutama
di lingkungan warganya. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh
dan
berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H.
Samanhudi
dan K.H. Idris.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 13
Perkembangan
perkoperasian Indonesia masa itu menyatu dengan kekuatan sosial
politik
sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya
Pemerintah
Hindia Belanda mengatur dan cenderung menghalangi atau menghambat
perkembangan
koperasi. Bentuknya yaitu tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431.
Selanjutnya
pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk
Gouvernmentsbesluit
no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang
menggantikan
Koninklijke Besluit no. 431 tahun 191511,12.
Pada
masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi
istilah
“Kumiai”. Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang
dikarenakan
masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai”
(koperasi).
Pemerintah waktu itu menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang
tujuannya
untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari
semakin
kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula
pasir,
minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan
bala
tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke
Jepang
(misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang
untuk
itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi)
dijadikan
alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan
kepentingannya.
Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan
pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para
anggota
dan masyarakat pada umumnya.
Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas
perkoperasian
ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta berusaha memasukkan
rumusan
perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di
11
Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan
Timur Asing.
Dengan
demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni
Peraturan
Perkoperasian
tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan
PeraturanPerkoperasian
tahun
1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
12
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun 1930
menunjukkan suatu tingkat
perkembangan
yang terus meningkat. Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka
pada tahun
1939
jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848
orang
kemudian
berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut
diantaranya
423
kopersi adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam sedangkan
selebihnya adalah koperasi
jenis
konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut diantaranya
19 buah adalah
koperasi
lumbung.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 14
Indonesia
mengalami suatu perkembangan yang lebih baik13. Pada akhir 1946, Jawatan
Koperasi
mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di
seluruh
Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan
perkoperasian.
Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah
RI
berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan
mengadakan
kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada
tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang
pertama
di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya
Sentral
Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan
tanggal
12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan
koperasi
di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi
pertumbuhannya
semakin pesat14.
Setelah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program
Pemerintah
semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian15. Sejalan
dengan
kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin
berkembang
dari tahun ketahun baik organisasi maupun usahanya. Selanjutnya pada
tanggal
15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang
ke
II di Bandung16. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi
Rakyat
Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956
13
Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian
disusun sebagai
usaha
bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa
bangun
perekonomian
yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal
33 UUd
1945
tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada BUMN dan
Swasta.
14
Terjadinya agresi I dan II Belanda terhadap Indonesia serta pemberontakan PKI
di Madiun 1948 banyak
merugikan
gerakan koperasi. Tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian. Peraturan ini
dikeluarkan
pada
waktu Pemerintah Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang
isinya hampir sama
dengan
Peraturan Koperasi Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana ketentuannya sudah
kurang sesuai
dengan
keadaan Indonesia sehingga tidak memberikan dampak berarti bagi perkembangan
koperasi.
15
Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka DPR berkaitan program perekonomian.
Untuk
memperbaiki
perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu
“program
koperasi”
yang terdiri dari tiga bagian, yaitu usaha untuk menciptakan suasana dan
keadaan sebaik-baiknya
bagi
perkembangan gerakan koperasi; usaha lanjutan dari perkembangan gerakan
koperasi; mengurus
perusahaan
rakyat yang dapat diselenggarakan atas dasar koperasi. Usaha tersebut
dilanjutkan Kabinet Ali
Sastroamidjodjo
16
Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan
mendirikan Sekolah
Menengah
Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah penyampaian
saran-saran kepada
Pemerintah
untuk segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat
Bung Hatta
sebagai
Bapak Koperasi Indonesia.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 15
tanggal
1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi III di Jakarta.
Keputusan
Kongres di samping berkaitan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga
mengenai
hubungan Dekopin dengan ICA.
Pada
tahun 1958 diterbitkan UU tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun
1958.
UU ini disusun dalam suasana UUDS 1950 dan mulai berlaku tanggal 27 Oktober
1958.
Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan
koperasi
sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang pertama tentang
perkoperasian
yang disusun Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
5.2.
Penelusuran Sinkronis Realitas Empiris Masyarakat Koperasi Indonesia
Aplikasi
diakronis terekam dalam practice realitas field sinkronis
masyarakat
koperasi
Indonesia. Realitas koperasi saat ini ternyata memunculkan pemahaman
koperasi
yang bias. Penelusuran sinkronis dilakukan misalnya dari practice Pak
Sulaiman,
Pak Naryo, Pak Aris, Pak Rahmat dan Pak Budiman.
Pak
Sulaiman misalnya menjelaskan bahwa pemahaman mengenai gerakan
koperasi
saat ini lebih bermakna mendapatkan kredit atau pembiayaan. Berikut ungkapan
Pak
Sulaiman:
La
gimana, saya hampir tiap hari di telpon, di sms, intinya ya itu, apakah kalau
saya
ikut
koperasi bisa dapat dana modal kerja, bisa dapat kredit?
Persepsi
seperti dijelaskan Pak Sulaiman dengan pandangan yang agak berbeda
dijelaskan
Pak Aris, meskipun intinya sama:
Karena
pengalaman dulu itu, sekarang gak apalah, tapi yang penting itu ya cari
danadana
bantuan
pusat. Sekarang saya mau menghidupkan koperasi saya yang mati suri,
ya
itu karena dikemplang manajer. Anggotanya juga gitu, sudah dibantu malah
ngemplang.
Dulu sih bisa aja agak idealis ngembangkan koperasi untuk kepentingan
anggota.
Sudah ikhlas, anggota dibantu, tahun 1993 dapat proyek pengembangan
mikrolet.
Sudah didistribusikan ke anggota, eh sampai tahun 1995 mereka malah gak
setor-setor.
Ya macet. Tahun 1995 dapat proyek penggemukan sapi. Kita sudah
semangat,
tapi setelah masa pengambilan oleh pengurus pusat koperasi di Surabaya,
mereka
gak ngambil-ngambil sampe 3 bulan. Sudah gitu, setelah mereka ngambil
malah
kita gak diberi kompensasi sesuai perjanjian, yang ada cuma uang muka bantuan
pribadi
mereka, dan sampai sekarang yang gak tau juntrungnya. Tahun 1997 dapat
proyek
lagi untuk distribusi beras ke pondok-pondok. Semuanya berjalan lancar, eh
manajer
malah bermain sama gudang dolog, ya wis yang kaya malah manajernya.
Dari
ungkapan Pak Sulaiman dan Pak Aris itu dapat dilihat bahwa koperasi sekarang
sudah
sedemikian rupa terkooptasi oleh program manja dari pemerintah. Artinya, mereka
hanya
berharap bahwa dengan ikut koperasi itu ya dapat uang, dapat pinjaman, dapat
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 16
modal.
Pengalaman Pak Aris juga menempa dirinya untuk bersifat pragmatis, bahwa
program
koperasi itu tidak bisa bergerak lebih jauh dari itu. Kalaupun dapat
dikembangkan,
yang mungkin adalah pengembangan koperasi yang “masih” bersifat
intermediasi.
Hal
itu dapat dilihat dari pengembangan koperasi saat ini. Lembaga Keuangan
Mikro,
Koperasi Simpan Pinjam maupun BMT, serta koperasi karyawan dengan model
swalayan
atau retail. Pak Rahmat misalnya, salah seorang pengurus BMT di Wonosobo
mengatakan:
Masyarakat
sekarang masih membutuhkan dana untuk menjalankan bisnisnya. Kita ini
kan
memang mencoba membantu mengentaskan mereka dari jebakan rentenir pasar.
Pernyataan
yang mirip dengan bahasa lebih teknis dari Pak Budiman:
Rentenir:
Pedagang pasar meminjam dana Rp 100.000,00 dari rentenir. Pedagang
pasar
menerima
dana pinjaman Rp 90.000,00, sedangkan Rp 10.000,00 langsung dipotong di
awal.
Sisa pinjaman Rp 90.000,00 dicicil @ Rp 5.000,00 selama 24 hari.
Qardhul
hasan: Pedagang pasar meminjam dana Rp 100.000,00 dari BMT. Pedagang
pasar
menerima dana pinjaman Rp 100.000,00 dan harus dikembalikan 24 hari kemudian
sejumlah
Rp 100.000,00. Pedagang pasar dipersilakan berbuat baik (hassan) dengan
memberi
lebih dari dana pinjamannya secara ikhlas.
Masyarakat
kita sekarang masih diproyeksikan pada tataran itu. Tetapi ketika diupayakan
menjadi
lebih berorientasi produktif, koperasi malah merasa belum siap. Padahal sumber
daya
alam Indonesia penuh dengan sumber daya untuk memajukan tradisi produktif.
Apalagi
bila mau dikembangkan ke arah produktif. Hal tersebut sangat sulit
dikembangkan.
Berikut komentar Pak Naryo:
Koperasi
mengelola produksi gas di Gresik? La itu kan digarap oleh perusahaan asing.
Mana
mungkin?...kita kan tidak punya keahlian untuk itu...
Beliau
seperti tidak pernah berpikir ke arah produktif, karena beliau menganggap
koperasi
tidak bergerak dengan skala besar atau produktif. Persepsi bahwa koperasi
hanyalah
subordinasi dari perusahaan besar dan tidak memiliki keahlian jelas terungkap
secara
implisit di situ.
Pesimisme
tersebut sebenarnya juga tidak terlalu signifikan. Penggerak koperasi
ternyata
masih memiliki semangat. Seperti ungkapan Pak Sulaiman:
Pengurus
koperasi sekarang banyak yang sudah tua, jadi gak bisa diajak progresif.
Diajak
berinovasi. Mungkin kita yang muda ini perlu kemandirian, kalau perlu harus
bergerak
lebih mandiri. Kenapa koperasi mesti harus terikat kepentingan pemerintah?
Ya
kalau mau bantu pemerintah itu wajiblah. Tapi kita perlu punya ide sendiri.
Yang
bagus
itu kan seperti kelompok usaha bersama nelayan. Mereka punya ide sendiri,
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 17
tidak
berbentuk koperasi awalnya, tapi mereka memiliki kesadaran untuk berkumpul.
Koperasi
Sae Pujon juga bagus, yang produktif seperti itu...Yang penting ya gotong
dan
kekeluargaan yang sebenarnya... pemberdayaan dari bawah yang sebenarnya.
Pengembangan
koperasi menurut Pak Sulaiman di atas jelas sekali perlu dikembangkan
dari
bawah, bukan intervensi atau menjadi subordinasi dari kepentingan tertentu.
Pemerintah
dan instansi tetap perlu berperan sebagai supporting movement.
Keberadaan
perusahaan
pun sebenarnya bukan mengkreasi koperasi menjadi subordinat. Perlu adanya
kesetaraan.
Di samping itu yang menarik adalah membentuk karakter
kekeluargaan
dan pemberdayaan dari bawah/kontekstual. Diperlukan penggalian lebih
jauh
konsep kekeluargaan dan pemberdayaan koperasi berbasis ekonomi rakyat.
5.3.
Sinergi Diakronis-Sinkronis: Menuju Konsep Pemberdayaan Koperasi
Dapat
disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal sampai masa
kemerdekaan
terlihat bahwa habitus masyarakat Indonesia dalam mengembangkan
(practice)
koperasi (field) didasarkan kepentingan pemberdayaan (capital).
Memang
perkembangan
awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif dan kebutuhan modal
anggotanya
(intermediasi). Hal ini dapat dilihat dari koperasi di Purwokerto sampai
dibentuknya
koperasi oleh Boedi Oetomo, SI, NU, PNI, dan lainnya. Meskipun koperasi
intermediasi
seperti ini akhirnya tidak berjalan lama.
Tetapi
setelah berjalan sekitar 20 tahun, gerakan koperasi mulai mengarah
kepentingan
produktif. Misalnya gerakan koperasi fenomenal Muhammadiyah berkenaan
produksi
batik. Bahkan gerakan koperasi produktif sangat kuat dan bertahan lebih lama
dari
gerakan intermediasi, karena memiliki kemampuan beradaptasi. Inilah yang
disebut
oleh
Prahalad dan Hamel (1990) sebagai core competencies17. Hanya
perbedaannya,
kompetensi
inti versi Prahalad dan Hamel (1990) berorientasi pada kepentingan
individual,
sedangkan kompetensi inti koperasi Muhammadiyah lebih berorientasi pada
karakter
koperasi Indonesianis, yaitu kekeluargaan.
Perubahan
situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme
baru
pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi. Mekanisme
seperti
17
Meskipun gerakan koperasi batik kemudian banyak mengalami kendala. Penjelasan
yang mungkin
adalah
pemberdayaan koperasi ketika bertemu dengan kepentingan kapitalistik, maka
gerakan koperasi
menjadi
melemah. Buktinya, gerakan koperasi batik pernah mengalami kejayaan dan
menggurita menjadi
holding
company, tetapi lupa pada akar tradisi habitus perbatikan, yaitu
kesejahteraan anggota secara luas
dan
empati sosial lingkungannya.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 18
ini
telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri,
otonom,
berkembang
dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan
keseimbangan
bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh. Bila
dirujuk
pada konsep bisnis core competencies, maka kondisi koperasi sekarang telah
kehilangan
sense untuk mengembangkan core competencies, dan hanya dapat
mengembangkan
core product saja. Itupun yang disebut dengan produk telah jauh
tereduksi
pada model intermediasi dan retail saja. Sedangkan substansi dari core
product
yang
lebih mengutamakan inovasi teknologi dan orientasi produk teralienasi secara
gradual
dan menurun.
Menjadi
benar ungkapan Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial
dipengaruhi
oleh habitus. Ketika tesis Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia
telah
terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda
selama 350
tahun,
maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam
paksa”
Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia
lewat doxa
kapitalisme,
Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus
pula
oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah
menjadi
(dikatakan
Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa.
Bentuk
konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi
pusat
kendali
dari trickle down effect pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli
pasar
nasional.
Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan
sesungguhnya
pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk subordinasi bagi
Usaha
Besar.
Pesona
statistik menurut Ismangil dan Priono (2006) tentu tak bisa dijadikan
patokan
tunggal. Fakta memang menyebutkan perkembangan koperasi di Indonesia
secara
kuantitatif terbilang paling pesat dibandingkan kebanyakan negara manapun di
dunia.
Jika di negara-negara dengan tradisi berkoperasi yang telah mengakar kuat tak
sedikit
yang mengarah pada trend amalgamasi, situasi kontras terlihat di negeri ini.
Mengacu
pada data pertumbuhan kuantitatif koperasi Indonesia empat tahun terakhir,
dari
semula tercatat 118.644 unit (2002) meroket menjadi lebih dari 123 ribu unit
pada
2005
(Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006). Hanya dalam tempo tiga
tahun
tak kurang 5.000 unit koperasi muncul bak cendawan di musim hujan. Ini juga
bisa
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 19
diartikan
bahwa animo masyarakat masih terus meningkat dari masyarakat untuk
menghidupkan
perekonomian mereka melalui koperasi.
Tetapi
kenyataannya, kita, lanjut Islamingi dan Priono (2006) juga harus
berlapang
dada menerima kenyataan, bahwa dibandingkan BUMN dan swasta, koperasi
belum
memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian nasional. Sumbangan
yang
sangat kecil terhadap produk domestik bruto (PDB) memperlihatkan wajah lain
dari
perkembangan
koperasi di Indonesia. Belum suksesnya Indonesia dalam
mengembangkan
perekonomian di tingkat pedesaaan yang mengakibatkan tidak
berkembangnya
ekonomi rakyat, merupakan akibat kurang optimalnya pengembangan
wadah
koperasi sebagai penopang perekonomian nasional. Koperasi masih diposisikan
dalam
zona sub sistem-bagian dari sistem-swasta dan BUMN, dengan kedudukan yang
tidak
sederajad. Karena berada dalam posisi sub sistem, koperasi di Indonesia kurang
optimal
dalam membangun jaringan koperasi (coop-network) yang memadai, akibatnya
banyak
keuntungan-keuntungan ekonomis yang terserap swasta dan BUMN.
Indikasi
doxa dan symbolic violence juga dapat muncul dari Visi Membangun
Koperasi
Berkualitas. Maka diingatkan oleh Sularso (2006) bahwa jika 70,000 koperasi
berkualitas
ingin diwujudkan, perlu dilakukan intervensi agar jumlah koperasi berkualitas
terdongkrak
mencapai jumlah yang dikehendaki. Intervensi dilakukan dengan
memfasilitasi
koperasi-koperasi yang mempunyai potensi untuk meningkatkan
kualitasnya.
Tetapi jika intervensi tersebut tidak tersambut dengan potensi internal yang
tumbuh,
maka tidak akan bermanfaat dan akan merusak koperasi. Umumnya intervensi
pemerintah
mengandung bahaya, menjadikan koperasi tergantung dan kehilangan
keswadayaan
dan otonominya. Atau melakukan rekayasa pernilaian dengan menurunkan
kadar
kriterianya sehingga lebih banyak koperasi yang bisa masuk kategori
berkualitas.
Intervensi
pemerintah belum tentu dapat menumbuhkan potensi internal koperasi dan
rekayasa
kriteria klasifikasi hanya akan menghasilkan klasifikasi koperasi yang
kualitasnya
dibawah standar. Koperasi- nya sendiri tidak bergerak untuk meningkatkan
kualitasnya.
Lebih
lanjut Sularso (2006) menjelaskan umumnya pencapaian target
pengembangan
koperasi dilakukan dengan pendekatan formalistik, kurang
memperhatikan
substansi koperasi berkualitas. Untuk menghindari formalisme dalam
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 20
membangun
koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi koperasi
berkualitas,
yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi
terhadap
fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik,
pengelolaan
berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Bahkan
kecenderungan gerak koperasi sekarang juga kembali ke logika awal
pergerakan
koperasi di masa koperasi dikenalkan di Indonesia, fungsi intermediasi. Hal
ini
terlihat dari makin menjamurnya Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan
Pinjam.
Perkembangan yang juga membesar juga bentuk Koperasi Serba Usaha, yang
bergerak
di bidang retail. Kebalikannya, koperasi produktif meskipun secara sporadis
banyak
memiliki keanggotan, omzet dan aset besar, tetapi kecenderungan terus
menurun.
6.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Konsep
kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasiretail
merupakan
substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia
yang
unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan
dan
subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement
(bukannya
intervention movement), dan strategic positioning (bukannya sub-ordinat
positioning)
berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan
sinergi
produktif-intermediasi-retail yang komprehensif. Paling penting adalah
menyeimbangkan
kepentingan pemberdayaan ekononomi koperasi berbasis pada sinergi
produktif-intermediasi-retail
sesuai Ekonomi Natural model Hatta. Sinergi produktifintermediasi-
retail
harus dijalankan dalam koridor kompetensi inti kekeluargaan. Artinya,
pengembangan
keunggulan perusahaan berkenaan inovasi teknologi dan produk harus
dilandasi
pada prinsip kekeluargaan. Individualitas anggota koperasi diperlukan tetapi,
soliditas
organisasi hanya bisa dijalankan ketika interaksi kekeluargaan dikedepankan.
Agenda
mendesak. Pertama, menemukan bentuk konkrit kompetensi inti
kekeluargaan.
Sebagai komparasi mungkin diperlukan parameter usulan Prahalad dan
Hamel
(1990)18 untuk mengidentifikasi kompetensi inti kekeluargaan versi koperasi.
18
Tiga parameter untuk mengidentifikasi kompetensi inti perusahaan adalah sebagai
berikut: (1) apakah
kompetensi
inti memberikan akses potensial kepada berbagai macam pasar?; (2) apakah
kompetensi inti
dapat
memberikan kontribusi signifikan pada manfaat yang diterima pelanggan? (3)
apakah kompetensi inti
yang
dimiliki perusahaan membuat pesaing mengalami kesulitan untuk meniru?
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 21
Kompetensi
inti memang berasal dari sumber daya dan kemampuan organisasi, namun
tidak
semua sumber daya dan kemampuan merupakan kompetensi inti. Meskipun tidak
menutup
kemungkinan adanya perluasan (ekstensi) model tiga parameter tersebut.
Kedua,
diperlukan pemacu bentuk koperasi secara seimbang. Koperasi produktif perlu
digalakkan,
sehingga kualitas, enterpreneurship, kemandirian, jumlah dan
keanggotaannya
memiliki keseimbangan dengan bentuk koperasi lain, seperti koperasi
fungsional,
koperasi retail maupun jasa (intermediasi). Bagi koperasi produktif lama
perlu
kebijakan mendesak untuk pemberdayaan agar tidak terjadi deklinasi usaha. Perlu
juga
menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru koperasi di bidang produktif, seperti
pertambangan,
energi, industri, otomotif, industri keperluan rumah tangga (sabun, sikat
gigi,
pasta gigi, shampoo, dll), teknologi pertanian, dll.
Agenda
menengah. Beberapa tahun ke depan perlu merancang pemberdayaan
koperasi
yang lebih mandiri. Artinya, saatnya memikirkan lebih konkrit mekanisme yang
menyentuh
langsung pada sektor riil. Beberapa hal dapat dilakukan, pertama,
menemukan
formulasi mikro ekonomi untuk semua. Mekanisme gotong-royong bukan
hanya
sebagai bentuk idealisme, tetapi perlu dielaborasi lebih jauh sebagai inti
pendekatan
mikro yang berdampak pada ekonomi makro. Kedua, menemukan dari bawah
mekanisme
berdagang, berinvestasi, produksi dan melakukan pemasaran bagi ekonomi
rakyat
secara luas dan berkeadilan. Ketiga, mengembangkan akhlak bisnis ekonomi
rakyat
berbasis kekeluargaan ala Indonesia. Keempat, menggali dan mengangkat kearifan
lokal
dalam berekonomi. Konsekuensinya adalah menelusuri mekanisme manajemen,
administrasi
dan keuangan/akuntansi ekonomi rakyat sesuai realitas Ke-Indonesia-an.
Kelima,
mensinergikan mikro dan makro ekonomi atas dasar kepentingan ekonomi,
sosial,
lingkungan untuk semua
Agenda
jangka panjang. Kenyataan program-program bersifat pembiayaan,
akses
perbankan, aspek teknologi dan segala hal tersebut masih berkaitan dengan
materi;
pemberdayaan,
profesionalisme, pelatihan, kemitraan, pasar bersama dan lain sebagainya
masih
berkaitan dengan anthropocentric oriented. Demikian pula perjuangan
ekonomi
kerakyatan
berbasis sosial, berbasis masyarakat Indonesia, perluasan bentuk demokrasi
ekonomi
semua juga tidak lepas dari nuansa sosialisme model baru yang juga tetap
berpola
materialism and anthropocentric oriented.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 22
Atau
lebih jauh dari itu semua, apakah prioritas pemberdayaan dan penguatan
ekonomi
rakyat bukan hanya “materialism and anthropocentric oriented”? Bila
kita
angkat
pada hal yang lebih normatif, bentuk pemberdayaan terbatas pada materialitas,
kepentingan
ego manusia, baik pribadi maupun kelompok mungkin tidak layak lagi
dikumandangkan.
Pemberdayaan holistik baik materialitas, egoisme diri, sosial harus
dikembangkan
dan diperluas lebih jauh. Bahkan harusnya juga melampaui itu semua
(Mulawarman
2007).
Ditegaskan
Mulawarman (2007) bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dibaca
hanya
sebagai salah satu penggalan kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia.
Kemakmuran
ekonomi masyarakat bukan hanya perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal
33
hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik
yaitu
menginginkan
kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta
mewujudkan
harkat martabat manusia berke-Tuhan-an. Keluar dari Materialisme
Ekonomi
versi Amerika juga seharusnya tidak serta merta menyetujui antitesisnya seperti
Marxisme,
atau yang lebih “soft” misalnya gerakan Materialisme Sosialis maupun
Sosialisme
Baru. Menjadi benarlah pesan HOS Tjokroaminoto: “keluar dari kapitalisme
menuju
sosialisme tidaklah berguna, karena keduanya masih menuhankan benda.
Ekonomi
yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan,
bermoral,
memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada
Tuhan.”
Tetapi, religiusitas ekonomi rakyat bukanlah religiusitas gaya spiritual
company
yang
menggunakan spiritualitas untuk kepentingan keuntungan ekonomi atau apapunlah.
Ekonomi
rakyat haruslah utuh dan kokoh bersandar pada kepentingan jangka panjang,
Jalan
Tuhan. Insya Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif,
Sritua. 1995. Dialektika Hubungan Ekonomi Indonesia dan Pemberdayaan Ekonomi
Rakyat.
KELOLA.
No. 10/IV. hal 29-42.
Bourdieu,
Pieree. 1977. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University
Press.
Bourdieu,
Pierre. 1989. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.
Cambridge-
MA:
Harvard University Press.
Bourdieu,
Pierre, Loic JD. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflective Sociology.
The University
of
Chicago Press.
Capra,
Fritjof. 2003. The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living.
Flamingo.
Dekopin.
2006. Program Aksi Dekopin. Jakarta.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
Aji
Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 23
Hamel,
G. and Prahalad, C. K. 1989, Strategic Intent. Harvard Business Rewiew,
Vol.
67,
No. 3.
Hamel,
G. and Prahalad, C. K. 1994. Competing for the Future. Harvard Business
School
Press
Hatta,
Mohammad. 1947. Penundjuk Bagi Rakjat Dalam Hal Ekonomi: Teori dan Praktek.
Penerbit
Kebangsaan Pustaka Rakjat. Jakarta.
Ismangil,
W. Priono. 2006. Menumbuhkan Kewirausahaan Koperasi Melalui Pengembangan Unit
Usaha
yang Fleksibel dan Independen. Infokop. 29-XXII. Hal 72-76.
Jauhari,
Hasan. 2006. Mewujudkan 70.000 Koperasi Berkualitas. Infokop. No
28-XXII. Hal.1-9.
Masngudi.
1990. Penelitian tentang Sejarah Perkembangan Koperasi di Indonesia. Badan
Penelitian
Pengembangan Koperasi. Departemen Koperasi. Jakarta.
Mubyarto.
2002. Ekonomi Kerakyatan dalam era globalisasi. Jurnal Ekonomi Rakyat.
Tahun I
No.
7. September.
Mubyarto.
2003.Dari Ilmu Berkompetisi ke Ilmu Berkoperasi. Jurnal Ekonomi Rakyat.
Th. II.
No.
4. Juli.
Mulawarman.
2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Mulawarman.
2007. Melampaui Pilihan Keberpihakan: Pada UMKM atau Ekonomi Rakyat?
Makalah
Seminar Regional Tinjauan Kritis RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah,
oleh
Puskopsyah BMT Wonosobo, tanggal 28 Agustus 2007.
Nugroho,
Heru. 2001. Negara, Pasar dan Keadilan Sosial. Pustaka Pelajar.
Jogjakarta.
Prahalad,
CK. And Gary Hamel. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard
Business
Review. May-June. pp 1-12.
Ritzer,
G. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan. Kreasi Wacana-Juxtapose.
Yogyakarta.
Sarman,
Rohmat. 2007. Ekonomi Kerakyatan: Introspeksi eksistensi pembangunan
ekonomi?
download
internet 23 Agustus
Shutt,
Harry. 2005. Runtuhnya Kapitalisme. Terjemahan. Teraju. Jakarta.
Soetrisno,
Noer. 2002. Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan. Jurnal Ekonomi Rakyat.
Th II
No.
5 Agustus.
Soetrisno,
Noer. 2003. Pasang Surut Perkembangan Koperasi di Dunia dan Indonesia. Jurnal
Ekonomi
Rakyat.
Stiglitz,
Joseph E.. 2006. Dekade Keserakahan : Era 90’an dan Awal Mula Petaka Ekonomi
Dunia.
Terjemahan. Penerbit Marjin Kiri. Tangerang.
Sularso.
2006. Membangun Koperasi Berkualitas: Pendekatan Substansial. Infokop Nomor
28-
XXII.
Hal 10-18.
Takwin,
Bagus. 2005. Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul Masyarakat,
Melampaui
Opisisi Biner dalam Ilmu Sosial. Kata Pengantar dalam (Habitus x Modal) +
Field
= Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.
Terjemahan.
Jalasutra. Jogjakarta.
Tambunan,
Tulus. 2007. Prospek Koperasi Pengusaha dan Petani di Indonesia Dalam Tekanan
Globalisasi
dan Liberalisasi Perdagangan Dunia. Hasil Penelitian. Kerjasama Kadin
Indonesia
dan Pusat Studi Industri & UKM Universitas Trisakti. Jakarta.
Tjokroaminoto,
HOS. 1950. Islam dan Socialism. Bulan Bintang. Jakarta.
Wainwright,
Steven P. 2000. For Bourdieu in Realist Social Science. Cambridge Realist
Workshop
10th Anniversary Reunion Conference. Cambridge, May.
Generated
by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com
For evaluation only.
0 komentar:
Posting Komentar