Rabu, 21 Desember 2011

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 11

Nama Kelompok :

Airin Akte Savira / 20210444 (airinsavira_04)
Dessy lestari / 21210848 (dessy.lestari)

Juni Erbina Saragih / 23210813 (junierbinasaragih)

Siti Amanah / 26210579 (siti_amanah10)

Yuli Chatrine Castro /28210741 (chaterinecastro)
 
Sumber :  http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_Nomor%202%20Tahun%20I_2006/09_Pengkajian_Pemusat_Pengem_Kop_Bid_PBiaya.pdf

Judul :
PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI
BIDANG PEMBIAYAAN PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA*)


Abstrak 
Tujuan dari penelitian ini: (1) untuk menyusun pengembangan koperasi pusat kabupaten
domain anggaran, (2) untuk memberi masukan kepada administrator Kabupaten dalam usahanya untuk menciptakan
slimate kondusif untuk pengembangan koperasi. Penelitian ini dilakukan di 20
provinsi. Metode studi yang terdiri dari studi pustaka, data primer dan sekunder
pengumpulan, analisis studi dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: teoris, dan exepertise
validitas. Berdasarkan hasil studi, kita dapat menyimpulkan bahwa model alternatif untuk koperasi
pengembangan pusat dalam domain budegetary kabupaten adalah: (1) Model kerjasama antar
koperasi adalah dengan operasi waralaba (toko non profit), (2) Model koperasi sekunder,
(3) model kerjasama antara koperasi sekunder dan bank, (4) orang pengkreditan
bank, (5) kerjasama bank primer dan Swamitra / kemitraan bank.


I. PENDAHULUAN  
1.      Latar Belakang
Krisis ekonomi nasional tahun 1997 masih menyisakan dampak negatif hingga
kini, termasuk bagi UKM dan usaha mikro, yaitu menyebabkan antara lain : (1) turunnya
daya beli konsumen, dikarenakan semakin berkurangnya/langkanya usaha-usaha yang
dimiliki konsumen sebagai sumber pendanaan; (2) menurunnya kualitas produk-produk
UKM dan usaha mikro sebagai akibat rendahnya kualitas SDM serta berkurangnya
sumber-sumber pendanaan yang dimiliki pengusaha kecil dan menengah dan mikro.
Salah satu permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil menengah dan mikro
dalam mengembangkan usahanya adalah kecilnya modal usaha yang dimiliki dan
rendahnya kemampuan untuk mengakses ke lembaga keuangan, baik lembaga
keuangan perbankan (BRI, BPR, dll) maupun lembaga keuangan non bank (KSP/USP
Koperasi, penggadaian, lembaga keuangan non formal, dll).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, sebagai upaya pengembangan
UKM dan usaha mikro, maka pengembangan lembaga keuangan mikro seperti KSP/
USP Koperasi melalui pemberdayaan dan berbagai regulasi peraturan merupakan
konsekuensi logis yang harus dilakukan, sehingga tercipta iklim kondusif yang
memungkinkan kemudahan bagi para pengusaha UKM dan usaha mikro mampu
mengakses atau memanfaatkan dana dan berbagai lembaga keuangan mikro tersebut.

2.      Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

a. Identifikasi Kegiatan ini memfokuskan pada pengembangan kerangka berfikir untuk mencari alternatif pengembangan koperasi dalam era otonomi daerah, dikaitkan dengan
penyusunan model-model pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan
dilakukan terhadap beberapa potensi daerah yang dapat dilayani koperasi dibidang pembiayaan, sentra-sentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan dan analisis terhadap daya dukung SDM, modal, lembaga keuangan dan teknologi. Berbagai hambatan dan kebijakan pendorong diantisipasi untuk menjadi dukungan dalam menkonstruksi model alternatif yang dihasilkan. Model pemusatan alternatif merupakan solusi-solusi yang dipertimbangkan dan direkomendasikan dalam rangka membangun
sistem pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.

b.Batasan Penelitian

Pada prinsipnya, pengkajian dilakukan untuk memperoleh konstruksi model
pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan secara nasional. Mengingat
dinamika otonomi daerah yang terjadi dan berbagai kondisi masing-masing daerah
mempunyai variabilitas dan heterogenitas dalam pengembangan koperasi, khususnya
koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi-koperasi, maka modelmodel yang direkonstruksikan secara substantif mengungkapkan kekuatan dan kelemahan masing-masing.

c. Rumusan Masalah

Program-program pembantuan bagi permodalan koperasi dan usaha kecil dan
menengah relatif telah banyak dilaksanakan melalui pengembangan sistem keuangan,
baik yang berbasis sisi kultural seperti arisan, gotong royong maupun pembentukkannya
diprakarsai pemerintah seperti kredit program, serta kebijaksanaan perbankan seperti
Kredit Investasi Kecil (KIK). Dalam banyak hal, walaupun menunjukkan hasil-hasil
yang relatif baik, akan tetapi belum dapat dikatakan optimal. Untuk itu, diperlukan
pemikiran dan pertimbangan untuk membangun model-model kelembagaan keuangan
dalam bentuk pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di daerah
yang mencakup kepentingan baik anggota-anggotanya dan lembaga keuangan.

3. Tujuan dan Manfaat


1) Tujuan


Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan alternatif kebijakan
dalam rangka pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di tingkat Kabupaten/
Kota, sesuai dengan otonomi daerah yang berlangsung saat ini. Secara khusus tujuan
kajian ini adalah : (1) menyusun model pemusatan pengembangan koperasi di bidang
pembiayaan tingkat Kabupaten/Kota; (2) memberikan masukan kepada Pemda
Kabupaten/Kota dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan
perkoperasian.


II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR


1. Landasan Kebijakan


Usaha kecil dan menengah (UKM) dan usaha mikro merupakan sumber kegiatan
perekonomian sebagian besar dari rakyat Indonesia baik di wilayah pedesaan maupun
perkotaan yang mencakup berbagai jenis lapangan usaha, baik pertanian, perdagangan,
industri dan jasa-jasa. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil
dan menengah di Indonesia berjumlah lebih dari 41 juta unit usaha atau mencapai
99,99% dari jumlah unit usaha di Indonesia dan telah mampu menyerap tenaga kerja
lebih dari 76 juta pekerja atau mencapai 99,46.
Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka mendukung UKM dan
pengembangan ekonomi lokal telah melaksanakan berbagai program antara lain program
pengembangan sentra UKM dukungan MAP dan BDS, program pengembangan
keuangan mikro melalui kompensasi subsidi BBM, serta program pengembangan di
bidang peternakan, perkebunan dan sebagainya. Program-program tersebut merupakan
stimulasi pembelanjaan bagi daerah, dan sisi lain sebagai upaya triggering bagi
pengembangan economic and social capital di daerah melalui pengembangan ekonomi
kerakyatan, yaitu koperasi dan UKM.

2. Kerangka Pemikiran


Pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada tingkat Kabupaten/
Kota pada dasarnya merupakan upaya mengkonstruksi model dalam rangka upaya
dan layanan untuk mendukung pengembangan, pengendalian dan operasi KSP/USP
pada tingkat Kabupaten/Kota pada suatu pusat agar diperoleh efektivitas dan efisiensi
dalam pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
Pemusatan pengembangan koperasi diperlukan karena beberapa pertimbangan yang
merupakan faktor penentu, antara lain :
(1) Kinerja KSP/USP sebagai koperasi sangat tergantung pada keberhasilannya
dalam melaksanakan prinsip koperasi, yaitu kerjasama antar koperasi.
Keberhasilan kerjasama antar koperasi memerlukan koordinasi, pendidikan dan
pelatihan, pembagian kerja, dinamisasi, promosi dan kerjasama usaha yang
dapat merupakan bagian dari fungsi daripada pemusatan pengembangan koperasi.
(2) KSP/USP sebagai lembaga keuangan memerlukan adanya fungsi pengawasan,
pengembangan jaringan pelayanan dan pengembangan produk yang menjadi
salah satu fungsi pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
III.METODE

1. Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian meliputi 20 propinsi yaitu : Sumut, Jatim, Bali, Sulut, Sumbar,
Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu, Riau, NTT, NTB, Babel, Sulsel, Kalbar,
Sulteng, Jabar, Jateng, Kalsel.

2. Metode dan Analisis Pengkajian


Metode pengkajian berupa studi pustaka dan pengumpulan data primer maupun
sekunder yang berkaitan dengan potensi daerah yang dapat ditangani koperasi, sentrasentra
produksi rakyat yang dapat dikembangkan, ketersediaan lembaga keuangan,
lembaga-lembaga pendukung pengembangan KSP/USP dan perkembangan KSP/USP,
serta model-model pemusatan koperasi di masing-masing Kabupaten/Kota..

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Sampai dengan bulan Juni 2004 jumlah KSP/USP di Kabupaten Pati sebanyak
75 unit dengan anggota 59.160 orang. Dua puluh tujuh unit diantaranya termasuk
dalam klasifikasi unit papan atas, 11 unit papan tengah dan 37 unit papan bawah.
Bhakti Group adalah kumpulan dari beberapa koperasi yang menghimpun dirinya
menjadi kelompok dengan tujuan memudahkan pengaturan likuiditas dana yang dikelola
oleh masing-masing koperasi anggotanya. Bhakti Group dipimpin oleh Bapak
Abdurahman Saleh dan 7 orang rekannya dalam 24 tahun berkembang dan berhasil
menghimpun aset sebesar Rp. 126 milyar, sedangkan anggota yang berhasil dihimpun
143.674 orang dengan karyawan 5.000 karyawan tetap.
Adapun beberapa kiat yang dijalankan manajemen Bhakti Group untuk mencapai  keberhasilannya adalah:
·         Komitmen yang kuat di tingkat top manajemen untuk membangun sebuah
koperasi sesuai dengan hakekat utamanya yaitu dari anggota untuk anggota,
membangun koperasi yang dilandasi dengan kejujuran dan kemajuan bersama,
baik anggota maupun pengurus.
·         Sistem prekrutan tenaga kerja dilakukan secara terpusat dan ketat baik ditinjau
dari kemampuan teknis maupun non teknis.
·         Prestasi karyawan dihargai dengan baik, dimana manajemen menganut
falsafah pengurus/karyawan tidak boleh miskin tapi juga tidak boleh kaya.
·         Untuk menghindari benih kecurangan, maka setiap periode tertentu diadakan
rotasi antar cabang bagi karyawan, setiap karyawan baru akan “dibaiat”
(disumpah) untuk mau bekerja dengan jujur, jika ditemukan kecurangan,
manajemen tidak akan segan-segan memecat bahkan kasusnya diajukan ke pengadilan.
·         Untuk mencegah pindahnya anggota, maka tiap anggota tidak boleh keluar
masuk seenaknya. Anggota hanya diperbolehkan keluar satu kali.
·         Dana yang dikelola secara profesional sehingga anggota dapat mengambil
kapan saja.
·         Manajemen menganut falsafah “mudah, cepat dan meriah”, Mudah dalam arti
prosedur menabung maupun meminjam dilakukan dengan semudah mungkin,
bahkan dengan sistem jemput bola. Cepat dalam arti proses administrasi
diusahakan tidak bertele-tele. Meriah dalam arti jumlah tabungan pada kisaran
kecil sampai menengah.
2        Kasus KSP BTM (Baitul Tamwil Muhammadiyah) di Kabupaten Pekalongan
Di Kabupaten Pekalongan terdapat koperasi yang layak dinyatakan berhasil
dalam bidang KSP, bahkan telah melebarkan sayapnya ke daerah lain. Koperasi Simpan
Pinjam tersebut berbentuk Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM). Didirikan tanggal 5
Januari 1996 dengan modal awal sebesar Rp. 25 juta, kelembagaan awalnya berbentuk
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di bawah Yayasan Binaan Baitul Maal
Muhammdiyah (YBBMM) sebagai partisipan Proyek Hubungan Bank Indonesia dan
Kelompok Swadaya masyarakat (PHBK). Dengan adanya UU Nomor 29 tahun 1999
yang antara lain mengahapus PHBK, maka kelembagaannya berubah menjadi Badan
Hukum Koperasi, tepatnya Koperasi Simpan Pinjam dan dikelola dengan menggunakan
sistem syariah yang berbasis pada prinsip bagi hasil. Pendirian BTM Wiradesa ini
dilatarbelakangi oleh terbatasnya akses permodalan bagi usaha mikro di Kabupaten
Pekalongan. Sampai dengan September 2004, dana masyarakat yang berhasil mencapai
Rp. 2 milyar lebih dengan total aset Rp. 3 milyar lebih, sedangkan jumlah pinjaman
yang diberikan pada periode yang sama sebesar Rp. 2,5 milyar lebih.
Untuk mempermudah pengelolaan dana dan sebagai penyangga likuiditas, maka
dari beberapa BTM membentuk koperasi sekunder berupa berupa Pusat KSP BTM
Wiradesa. Untuk menghindari perebutan nasabah (anggota) maka ada klasifikasi ukuran
pinjaman. Untuk pinjaman sampai dengan 30 juta hanya dapat dilayani di koperasi
primer dan Rp. 30 Juta ke atas dilayani di koperasi sekunder. Sistem peminjaman
dana dari koperasi sekunder ke koperasi primer ada dua yaitu : sistem channeling dan
sistem sindikasi. Perbedaannya adalah sistem channeling 100% dana pinjaman berasal
dari koperasi sekunder dengan bagi hasil 20% bagi hasil keuntungan untuk koperasi
primer dan 80% untuk koperasi sekunder, sedangkan sistem sindikasi dana pinjaman
tidak 100% dari koperasi sekunder, namun terbagi antara koperasi sekunder dan koperasi
primer dengan proporsi pinjaman tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama.
Pembagian keuntungan diberikan sesuai dengan besarnya proporsi jumlah pinjaman .
3. Kasus Pemusatan Kerjasama Koppontren Al-Ishlah dengan Bank di
Kabupaten Cirebon USP Swamitra adalah lembaga keuangan mikro yang didirikan atas kerjasama saling menguntungkan antara Bank Bukopin dengan koperasi untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah. Melalui kerjasama ini USP atau KSP dapat beroperasi secara modern dengan memanfaatkan jaringan teknologi dan dukungan sistem
manajemen yang telah dikembangkan oleh Bank Bukopin.
Swamitra Al-Ishlah dibentuk pada Desember 1998 sebagai hasil kerjasama antara
Koppontren Al-Ishlah dengan Bank Bukopin Cabang Cirebon. Swamitra Al-Ishlah berada
di desa Dukupuntang, Bobos, Cirebon dan melayani nasabah-nasabah di wilayah
Palimanan, Sumber hingga Rajagaluh yang radiusnya sekitar 17 km dari pusat kegiatan
di Pasar Kramat, Bobos. Kemudian pada pertengan 1999, Swamitra Al-Ishlah resmi
beroperasi. Pada saat itu dana yang disalurkan untuk Kredit Koperasi Kepada Anggota
(KPPA) sebesar Rp. 350 juta. Pinjaman tersebut berjangka satu tahun dan berbunga
16% setahun dan harus disalurkan kepada anggota koperasi tanpa bunga. Sebagai
penyalur, Swamitra Al-Ishlah juga tidak mengenakan bunga, tetapi menarik biaya sebesar
3% yang dipungut saat pencairan kredit. Sumber dana Swamitra A-Ishlah yang lain
adalah modal tidak tetap dari Bank Bukopin dengan alokasi sebesar Rp. 500 juta.
Sumber dana yang lainnya adalah simpanan masyarakat yang jumlahnya dalam tahun
pertama saja melebihi alokasi dari Bank Bukopin. Ini menunjukkan keberhasilan
Swamitra Al-Ishlah dalam menggalang dana masyarakat. Keberhasilan ini berkat
kerjasama antara pengelola Swamitra, pengurus Koppontren dan Bank Bukopin dalam mempromosikan Swamitra di Majlis Taklim.

4. Alternatif Model Pemusatan


Dengan memperhatikan perkembangan koperasi di lapangan, model kelembagaan
pemusatan koperasi dapat berupa kerjasama antar koperasi primer dengan pola waralaba
(franchising), koperasi sekunder, kerjasama koperasi sekunder dengan bank, kerjasama
koperasi primer dengan bank dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

1) Model Kerjasama antar Koperasi Primer dengan Pola Waralaba
Model pengembangan koperasi seperti yang terjadi pada kelompok Koperasi
Bhakti di Kabupaten Pati merupakan suatu pola kerjasama antar koperasi primer.
Walaupun merupakan suatu pola kerjasama yang menjadikan kelompok koperasi bhakti
dikembangkan dan dikelola secara tertib dan terkoordinasi, namun antar koperasi dalam
kelompok koperasi bhakti tidak memiliki kontrak kerjasama secara eksplisit. Koordinasi
pengelolaan dan pengembangan terjadi berkat adanya standarisasi dan sinkronisasi
pengelolaan dan bahkan terdapat suatu kesatuan komando dalam pengelolaan dan pengembangan koperasi. Potensi keunggulan model kerjasama antar Koperasi seperti Kelompok Koperasi
Bhakti sebagai suatu pola atau kelembagaan pemusatan pengembangan pembiayaan
antara lain sebagai berikut :
(1) Standarisasi dan sinkronisasi dapat lebih mudah dilakukan dengan
standarisasi karyawan dan standarisasi sistem dan prosedur, serta
sinkronisasi atau kesatuan komando manajemen.
(2) Pengembangan koperasi baru relatif lebih mudah dilakukan dengan adanya
karyawan terlatih yang siap ditugaskan pada koperasi baru.
(3) Dengan karyawan yang terlatih dan aktif jemput bola maka memungkinkan
penetrasi perluasan anggota yang berarti perluasan pasar dan peningkatan
pangsa pasar.
(4) Walaupun antar Koperasi Bhakti terdapat standarisasi dan sinkronisasi
manajemen, masing-masing koperasi sepenuhnya dimiliki oleh anggotanya
yang sebagian besar berada pada sekitar koperasi berada.
(5) Keterbatasan Bhakti menganut keanggotaan secara terbuka dan sukarela
sehingga memungkinkan loyalitas anggota secara alami dan berkelanjutan
serta sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi.
(6) Mengingat memiliki catatan kinerja baik (track record) yang cukup panjang
dan memiliki brand name yang cukup dikenal, pola koperasi bhakti memiliki
peluang sebagai suatu sistem waralaba manajemen koperasi simpan pinjam
yang dapat diaplikasikan pada pengembangan koperasi simpan pinjam.

2) Model Koperasi Sekunder
Dengan pola koperasi sekunder pada dasarnya seluruh kegiatan yang diperlukan
untuk mendukung pengembangan koperasi primer dilakukan oleh koperasi sekunder
secara berjenjang dari tingkat daerah, wilayah, nasional dan internasional. Fungsifungsi
kegiatan pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan meliputi bidang
keuangan yang terdiri atas penghimpunan dan penyaluran dana melalui silang pinjam
(interlanding) dan pengelolaan resiko maupun bidang non jasa keuangan yang terdiri
atas konsultasi manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan
audit, pengadaan sarana usaha dan audit. Keungulan koperasi sekunder sebagai model pemusatan pengembangan koperasi adalah :
(1) Struktur dan sistemnya telah tersedia, baik secara lokal, nasional maupun
internasional sehingga tinggal masalah penerapan.
(2) Penerapan koperasi sekunder sebagai model pemusatan lebih menjamin
penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, sehingga lebih menjamin
terwujudnya cita-cita koperasi yaitu peningkatan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi anggota koperasi.
3) Model Bank Perkreditan Rakyat


Pemusatan pengembangan koperasi dengan model Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) terutama dimaksudkan agar memiliki kemampuan atau keleluasaan yang lebih
besar dalam penghimpunan dana masyarakat dan sekaligus keleluasaan dalam
penyaluran dana. Dengan bentuk BPR, sebagai bank, memiliki kewenangan untuk
menghimpun dana ke masyarakat, tidak hanya kepada anggotanya.
Keunggulan BPR sebagai model pemusatan pengembangan koperasi antara
lain adalah : (1) Memiliki kepercayaaan kemampuan yang efektif dan dalam menghimpun dana
baik dana dari masyarakat, maupun dana dari lembaga keuangan sebagai
konsekuensi bentuknya berupa bank.
(2) Merupakan sarana yang legal dan sehat untuk menyalurkan dana kepada
masyarakat, terutama apabila koperasi anggota atau pemegang saham dalam
keadaan kelebihan dana.
(3) BPR yang harus mengikuti ketentuan perbankan yang ketat dapat menjadi
referensi yang baik dalam mengembangkan tata kelola yang baik (good
corporate governance) bagi koperasi yang dikembangkan.

4) Model Kerjasama Koperasi Sekunder dangan Bank
Model kerjasama koperasi sekunder dengan bank umum adalah sebagaimana
yang terjadi pada koperasi-koperasi di lingkungan pegawai negeri, Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Bank Kesejahteraan
Ekonomi. Dalam hal ini induk-induk koperasi tersebut sperti KPRI, Inkopad, Inkopau,
Inkopal, dan Inkopol mengadakan kerjasama dalam penyaluran dana dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi untuk anggota-anggota koperasi. Keunggulan model ini adalah :
(1) Ketersediaan dana yang diperlukan oleh anggota koperasi dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi.
(2) Kemampuan penghimpunan dana masyarakat maupun dana dari lembaga
keuangan lain melalui Bank Kesejahteraan Ekonomi.

5) Model Kerjasama Koperasi Primer dengan Bank Pola Swamitra
Kerjasama koperasi primer dengan bank Bukopin dalam bentuk pola Swamitra
merupakan model pemusatan kegiatan pengembangan koperasi dengan kerjasama
koperasi primer dengan bank. Dengan pola ini, Bukopin menyediakan sistem dan
aplikasi manajemen simpan pinjam koperasi, termasuk pengadaan dan pelatihan
sumberdaya manusia, aplikasi teknologi informasi, sistem manajemen operasi simpan
pinjam, pendampingan dan supervisi simpan pinjam dan standarisasi produk simpanan
dan pinjaman, serta cadangan likuiditas koperasi simpan pinjam.
Keunggulan pemusatan pengembangan koperasi dengan model kerjasama antar
koperasi primer dan bank pola Swamitra, antara lain :
(1) Terdapat paket dukungan pengembangan KSP/USP secara lengkap sehingga memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. (2) Terdapat sistem supervisi dan pengendalian secara seketika (on line) oleh bank. (3) Terdapat jaminan cadangan likuiditas yang disediakan secara bertingkat, baik di koperasi maupun di bank. (4) Terdapat standarisasi sistem dan produk sehingga lebih memungkinkan dikembangkan jaringan kerjasama. (5) Memiliki kredibilitas yang tinggi dalam penghimpunan dana berkat dukungan citra bank pendukungnya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan

(1) Sentra-sentra usaha yang dipandang perlu sebagai sentra usaha unggulan
adalah berupa sentra usaha yang bergerak di bidang pertanian, industri
makanan dan minuman, industri kerajinan, industri kerajinan tekstil dan
konveksi rakyat. Sebagian dari pengusaha dalam sentra tersebut berupa
usaha mikro, yang memiliki kesamaan bahan baku atau teknologi dan tidak
melakukan kegiatan pemasaran bersama atau pengadaan bahan baku
bersama.
(2) Kebutuhan pembiayaan usaha dalam sentra pada dasarnya lebih tepat
dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi simpan pinjam, karena
kebutuhan dana berskala kecil dan sendiri-sendiri.
(3) Kegiatan pemusatan pengembangan koperasi dalam bidang pembiayaan
meliputi jasa keuangan dan jasa non keuangan meliputi konsultasi manajemen
simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit, pengadaan
sarana usaha dan advokasi.
(4) Alternatif model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada
tingkat Kabupaten/Kota adalah :
(a) kerjasama antar koperasi dengan pola
waralaba,
(b) koperasi sekunder, 
(c) kerjasama koperasi sekunder dengan
bank, 
(d) Bank Perkreditan Rakyat, 
(e) kerjasama koperasi primer dan bank
dengan pola Swamitra.
2. Saran
Model pemusatan pengembangan koperasi di suatu Kabupaten/Kota tidak harus dalam bentuk satu model, dapat terdiri atas dua model tersebut diatas dengan maksud agar dapat mempertahankan cirri masing-masing keunggulannya.

DAFTAR PUSTAKA


 2003. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian
Koperasi dan UKM. Jakarta.
Arief, Sirtua, 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia : Pemberdayaan Rakyat
dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung.
Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan terhadap Sektor Pertanian : Suatu
Telaah Ekonomi Politik. Dalam : Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI. Jakarta.
INFOKOP. 2002. Koperasi Menuju Otonomisasi. Jakarta.
Korten, David C., 1980. Community Organization and Rural Development : A Learning
Process Approach. Dalam Public Administration Review, No.40.
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?.
Jakarta.
Krisnamurthi, B., 2003. Analisis Grand Strategy Pembangunan Pertanian :
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis dan Implementasi Pembangunan
Pertanian. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Evaluasi Kinerja
Pembangunan Pertanian. Jakarta.
Prijadi, dkk. 2002. Pengembangan KSP dan USP Koperasi sebagai Lembaga Keuangan.
Yayasan Studi Perkotaan. Jakarta.
Soetrisno, N. 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. STEKPI.
Jakarta.
Wibowo, R. 1999. Refleksi Teori Ekonomi Klasik dalam Manajemen Pemanfaatan
Sumberdaya Pertanian pada Milenium Ketiga. Dalam Refleksi Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar