Minggu, 18 Desember 2011

Review Jurnal ekonomi Koperasi 9

Nama kelompok :        Airin Akte Savira / 20210444
Dessy lestari / 21210848
Juni Erbina Saragih / 23210813
Siti Amanah / 26210579
Yuli Chatrine Castro /28210741
Sumber : http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_3_2008/04_Johnny_W.pdf

PERINGKAT PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS BERDASARKAN INDEKS PEKR

Abstrak 
Pembangunan ekonomi koperasi merupakan bagian integral dari ekonomi nasional
pembangunan. Kapasitas yang lebih tinggi dari daerah dalam perekonomian nasional, itu harus tercermin pada ekonomi yang lebih tinggi kerjasama regional. Dalam era outonomy daerah, koperasi developmet merupakan salah satu utama kewenangan kepala daerah. Sesuai dengan lingkungan dan iklim perubahan, setiap provinsi akan memacu untuk mengembangkan ekonomi koperasi untuk penduduk materalizing perekonomian.Salah satu dorongan untuk meningkatkan persaingan antar daerah adalah dengan mengidentifikasi posisi provinsi secara nasional. Dengan menggunakan kinerja ekonomi regional koperasi / PEKR indeks, maka peringkat provinsi di dapat diidentifikasi. Hasil analisis menunjukkan yang baik
kinerja dari satu provinsi tidak selalu ditunjukkan oleh kapasitas ekonomi tinggi regional di
perekonomian nasional. Pada 2006, peringkat tertinggi dicapai oleh Provinsi Gorontalo,
meskipun provinsi ini memiliki kapasitas ekonomi yang rendah daerah, tetapi mampu menciptakan yang sangat ekonomi koperasi tinggi.





PENDAHULUAN
Pasca krisis ekonomi Indonesia telah memasuki usia satu dekade. Kemajuan perekonomian Indonesia secara mendasar masih belum signifikan, meskipun stabilitas ekonomi makro telah pulih, khususnya dari indikator nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang terkendali, dan neraca perdagangan luar negeri yang positif, yang didukung oleh stabilitas politik. Sektor riil masih belum berkembang secara signifikan sejalan dengan stabilitas makro. Perekonomian secara mikro masih belum terpulihkan secara nyata karena engine of growthyang penting, yakni investasi dan dunia usaha, belum terpulihkan. Pangsa investasi terhadap PDB masih sekitar 22% selama ini, sangat jauh dari harapan untuk menjamin bergeraknya sektor riil. Untuk stabilitas sektor riil semestinya pangsa investasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di atas 35%. Sementara target pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan dukungan investasi yang tinggi pula baik dari investasi langsung nasional maupun asing (FDI). Dunia usaha, khususnya lembaga koperasi, belum menjadi andalan dalam menggerakkan sumberdaya domestik. Itu sebabnya, pengangguran dan kemiskinan masih menjadi persoalan pokok pembangunan ekonomi yang tidak hanya di perdesaan juga sudah menggapai perkotaan. Pengangguran dan kemiskinan di kota terjadi lebih diperparah oleh urbanisasi orang-orang dari pedesaan yang umumnya tidak mempunyai keterampilan dan keahlian di bidang usaha yang berciri perkotaan.
Persoalan mendasar yang menjadi penentu kemampuan menarik investasi ke Indonesia adalah iklim investasi dan bisnis yang tidak kondusif. Dari berbagai survey nasional dan internasional menyangkut bisnis dan ekonomi, Indonesia selalu berada pada posisi yang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Artinya, Indonesia belum menjadi negara tujuan investasi. Kalaupun ada aliran investasi ke Indonesia belum menyentuh bidang usaha yang menjadi andalan perekonomian dan masih terlihat dunia usaha lebih menyukai pusat operasinya di regional (daerah) tertentu saja, khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Aliran investasi dalam rangka PMDN dan PMA separuhnya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, dan sisanya dibagi oleh regional lainnya. Pola ini jelas dapat semakin memperbesar kesenjangan antar regional dimana regional selain Pulau Jawa dan Bali pembangunan ekonominya semakin jauh tertinggal. Kesenjangan antar regional ini sekaligus juga mempersulit upaya penanggulangan pengangguran dan kemiskinan. Bila kesenjangan ini masih berlanjut, itu mencerminkan pula kurang tepatnya strategi Pemerintah secara nasional menarik investasi dalam rangka pemulihan ekonomi dari krisis dan revitalisasi perekonomian.
Sejalan dengan otonomi daerah, kesenjangan pembangunan antar daerah yang tinggi menunjukkan tujuan otonomi daerah tidak tercapai dalam rangka menyejahterakan rakyat. Dengan otonomi, semestinya daerah, kabupaten, kota, dan propinsi, harus berlomba menunjukkan prestasi yang nyata di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat.
Mobilisasi sumberdaya lokal, praktis di bawah kendali pemerintahan lokal dan propinsi. Dengan demokrasi politik pemilihan langsung gubernur, bupati, dan walikota memberikan harapan kesungguhan setiap daerah membangun ekonomi dengan prinsip kompetisi. Program-program pembangunan menjadi implementasi strategi setiap pemimpin daerah dalam mewujudkan visi dan misi ketika kampanye pemilihan kepala daerah tersebut.
Secara praktis dapat dikatakan bahwa otonomi daerah memberikan kesempatan seluasluasnya kepada daerah untuk membangun sesuai dengan kapasitas daerah itu di tengah perubahan lingkungan strategis yang cepat. Pembangunan koperasi adalah salah satu strategi setiap kepala daerah dalam pembangunan ekonomi. Mengapa demikian? Karena koperasi telah dikenal luas selama ini sebagai lembaga yang dianggap mampu mewadahi masyarakat mencapai cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan kultur kerjasama. Secara ideal, koperasi tidak hanya sebagai badan usaha rakyat tapi juga sebagai lembaga yang dianggap mampu mengejawantahkan peran konstitusi (pasal 33 UUD 1945) dalam konteks ekonomi kerakyatan. Secara faktual, koperasi merupakan salah satu pelaku ekonomi sebagaimana bentuk badan usaha lain, seperti perseroan terbatas (PT). Dalam era otonomi daerah jelaslah bahwa pengembangan ekonomi koperasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan ekonomi nasional dan regional. Tentunya, para kepala daerah juga harus berlomba memajukan ekonomi koperasi di daerahnya.
Apakah perekonomian daerah yang tinggi dapat mencerminkan kemampuan propinsi mengembangkan koperasi? Hal ini patut dipertanyakan mengingat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali yang paling tinggi di Indonesia, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik dari wilayah lainnya, serta jumlah penduduk yang banyak seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi Pulau Jawa dan Bali dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Tulisan ini merupakan
hasil analisis terhadap performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada tahun 2006 dengan menampilkan posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi. Dengan menggunakan metode indeks, analisis ini menarik untuk disimak karena dapat menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak mencerminkan sepenuhnya kemampuan mengembangkan ekonomi koperasi. Daerah di Pulau Jawa dan Bali sebagai daerah yang kuat perekonomian ternyata posisinya di bawah
daerah lainnya yang di luar P. Jawa dan Bali. Hasil analisis ini juga dapat membuktikan apakah strategi pemerintah daerah dan pusat, khususnya lembaga pemerintah yang bertanggungjawab pengembangan koperasi, mampu menjawab permasalahan dasar perekonomian sesuai grand strategies pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), khususnya dalam rangka otonomi daerah. Dengan kata lain, apakah pola pembangunan koperasi menjamin perbaikan perekonomian daerah dan nasional atau
berpotensi untuk meningkatkan kesejanjangan antar daerah bila pola tersebut terjadi terus menerus.

METODE ANALISIS
Berbagai metode dapat dikembangkan untuk menjawab masalah yang dikemukakan di atas. Selama ini, persoalan menyangkut peran koperasi lebih sering dikumandangkan berdasarkan analisis historikal yang normatif. Tulisan ini mencoba menampilkan analisis yang lebih positif dengan menggunakan fakta empirik menyangkut posisi ekonomi koperasi dikaitkan dengan kemampuan ekonomi regional dimana koperasi itu berada. Pendekatan relatifitas menjadi dasar dalam analisis ini. Untuk mengetahui performa propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi digunakan metode indeks, berdasarkan Indeks Performa Ekonomi Koperasi Regional (IPEKR) dari sisi regional atau propinsi atau kawasan Indonesia (selanjutnya disebut regional) atau Regional Cooperative Economic Performance Index (RCEPI). IPEKR atau indeks RCEP menjelaskan bagaimana performa relatif ekonomi koperasi secara regional (cooperative economic size by region) atau ukuran ekonomi koperasi setiap propinsi terhadap relatif ekonomi regional secara nasional (economic size relative by region). Secara metodik, IPEKR adalah perbandingan antara rasio nilai ekonomi atau bisnis koperasi regional dengan nasional yang dinyatakan sebagai ukuran ekonomi koperasi dengan rasio ekonomi regional propinsi tersebut dengan
nasional.
Metode ini cukup baik untuk menjelaskan rating dan peringkat regional/propinsi dalam pengembangan ekonomi atau bisnis koperasi), dan telah digunakan oleh para analis atau peneliti ekonomi untuk melihat posisi berbagai aspek, antara lain komoditas dalam
ekspor, negara dan propinsi menarik investasi, dan juga pembangunan wilayah. Untuk mengetahui dayasaing pasar suatu komoditas misalnya, metode ini digunakan dalam perdagangan luar negeri. UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development) menggunakan metode ini untuk analisis posisi negara-negara menarik FDI dalam the World Investment Report (WIR) setiap tahunnya.
Demikian juga penulis sendiri telah menggunakannya dalam memeringkat sektor perekonomian dan regional dalam menarik investasi PMDN dan PMA. Pada tahun 2007, Kementerian Negara KUKM melalui Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM juga mencoba menggunakannya untuk memeringkat propinsi dalam pembangunan KUKM. Dalam pembangunan wilayah, metode ini biasanya digunakan sebagai implementasi teori lokasi untuk menetukan lokasi perencanaan wilayah.
Analisis ini menggunakan data sekunder yang agregatif yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bank Indonesia (BI) yang tertampil dalam website masingmasing lembaga. Data PDB dan PDRB adalah masing-masing pendapatan domestik bruto Indonesia dan propinsi. Sedangkan data volume usaha adalah nilai total volume usaha koperasi baik propinsi maupun nasional pada tahun 2006.
Seyogianya, performa tahun 2007 lebih mutakhir digambarkan dalam analisis ini. Namun data PDRB tidak tersedia. Bahkan untuk tahun 2006, sebagian propinsi belum mampu menampilkan data PDRB. Sehingga penulis melakukan elaborasi berdasarkan ukuran tahun-tahun sebelumnya dengan asumsi, pangsa propinsi terhadap nasional hampir tidak berubah dalam jangka pendek. Dalam analisis ini dimasukkan juga bagaimana perbedaan performa pengembangan ekonomi koperasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari Pulau Sumatera, Jawa dan Bali, dan sisanya Kawasan Timur Indonesia (KTI).

HASIL ANALISIS
1. Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana terlihat dalam metode analisis, IPEK merupakan ukuran rating propinsi dalam performa ekonomi koperasi. Pada tahun 2006, sebaran rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086 dan terendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi koperasi regional mencapai 5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan ekonomi regionalnya.
Dengan kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap nasional akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti setiap 1% pangsa ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.

2. Ukuran Ekonomi Regional
 Sejauhmana kemampuan ekonomi relatif regional/propinsi terhadap nasional merupakan ukuran ekonomi regional atau kapasitas dari propinsi tersebut dalam bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa digunakan untuk mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005, PDB Indonesia mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun per tahun. Selama kurun waktu tersebut, kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi adalah Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per tahun, menyusul Jawa Timur 13.9-15.2% atau rata-rata 15% per tahun, dan Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah adalah Propinsi Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali D.I .Yogyakarta dan Banten, termasuk penyumbang pendapatan terbesar secara nasional.
Pada tahun 2006, PDB Indonesia telah mencapai Rp3339.48 triliun. Kontribusi ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah 0.1502 atau 15.02% dari PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari PDB. Kontribusi ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh karena itu kontribusi di atas 3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam perekonomian. Pada Grafik 1
terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan.
DKI Yakarta (1), Jawa Timur (2), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (4), Kalimantan Timur (5), Riau (6), dan Sumatera Utara (7), selebihnya rendah dan sangat rendah. Kelompok propinsi terrendah kapasitas ekonomi regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontolo merupakan kelompok paling rendah. Posisi ekonomi propinsi ini sejalan dengan gambaran perbedaan
kapasitas kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap nasional.
Memperhatikan kapasitas regional pada grafik 1, semestinya propinsi yang memiliki kapasitas tinggi dalam perekonomian akan menunjukkan performa ekonomi koperasi yang juga harus tinggi. Misalnya, dengan UER DKI Jakarta 0.1502, Jatim 0.1419, Jabar 0.1418, dan Jateng 0.0844 maka ukuran ekonomi koperasi (cooperative economic size) di masing-masing propinsi itu semestinya
akan mencapai minimal angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal tersebut sangat tergantung pada strategi dan upaya propinsi menggerakkan sumberdaya ekonomi koperasi di wilayahnya. Kalau propinsi tersebut mampu menggerakkan sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi tersebut dinyatakan bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi regionalnya.
Sebaliknya, kalau propinsi tersebut tidak sanggup menggerakkan sumberdayanya maka performa ekonomi koperasi regional akan rendah. Artinya, propinsi tidak mampu menggunakan kapasitas ekonominya dengan baik untuk memajukan koperasi sebagai wujud ekonomi rakyat.

3. Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Gambaran mengenai kemampuan propinsi mengembangkan ekonomi koperasi terlihat dari ukuran ekonomi koperasi regional (UEKR). Dimensi ini menunjukkan sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi koperasi secara nasional. Indikator ini juga mencerminkan kapasitas propinsi dalam ekonomi koperasi. Pada Grafik 3 memperlihatkan bagaimana distribusi ekonomi koperasi menurut propinsi. Nilai UEKR tertinggi mencapai 0.3352 dan terendah sebesar 0.0002. Sama dengan ukuran ekonomi regional, nilai rata-rata adalah 0.0302. Sehingga propinsi yang memperoleh angka UEKR di atas 0.0302 adalah kategori tinggi ukuran ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi, hanya 6 propinsi atau 18.2% dari seluruh propinsi yang memperoleh UEKR di atas 0.03, yakni secara berurutan Jawa Timur (0.3352), Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah (0.1412), DKI Jakarta (0.0780), dan Bali (0.0400). Kelima propinsi ini memberikan sumbangan terhadap ekonomi koperasi secara nasional mencapai 73.58%, sisanya10 merupakan kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi propinsi ini ditinjau dari UEKR sesuai dengan kondisi sumberdaya dan aksesibilitas daerah tersebut sebagai pusat ekonomi Indonesia.
Kapasitas ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan, berdasarkan UER dan UEKR yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya peringkat propinsi itu dalam performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi yang memiliki kapasitas tinggi baik ekonomi regional maupun ekonomi koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam kategori performa baik. Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta tidak termasuk sebagai propinsi yang performanya baik. Justru sebagian besar propinsi yang kapasitas ekonomi regional yang rendah menduduki posisi tinggi dengan performa baik.
Mengapa bisa begitu? Hal itu disebabkan oleh kapasitas ekonomi regional yang tinggi tidak mampu menjadi penggerak ekonomi koperasinya. Artinya, pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi ekonomi yang dimiliki. Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar 14.18% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta dengan UER 15.02% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara Gorontalo yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07% malah mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga Bali dengan kapasitas ekonomi regional 1.12% mampu menciptakan ekonomi koperasinya sebesar 4.0%. Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi 2.55% ternyata mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 5.38% yang mengalahkan Jawa dengan kapasitas ekonomi regional mencapai 55.6% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 73.5%. Sumatera misalnya, dengan kapasitas ekonomi regionalnya mencapai 21.35% tapi hanya 12 mampu menciptakan ekonomi koperasi di Sumatera sebesar 13.26%, jauh di bawah kapasitasnya.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat dinyatakan model analisis PEKR (Performa Ekonomi Koperasi Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi propinsi dalam perekonomian koperasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran ekonomi regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati posisi yang tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada strategi mobilisasi kekuatan ekonomi yang tidak fokus pada koperasi. Walaupun para kepala daerah selalu menyatakan bahwa koperasi menjadi andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata tidak mampu diwujudkan dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini terindikasi adanya kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi sebagai sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala daerah yang performanya rendah.
Ditinjau dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran ekonomi koperasi, kecenderungan terjadinya disparitas antar regional (propinsi, pulau, dan kawasan). Disparitas ini disebabkan oleh dukungan fasilitas (infrastruktur dan struktur) dan akses (pasar, informasi, dan finansial) yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih banyak. Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara lokal, regional, dan nasional. Semestinya, economic size yang tinggi akan menyebabkan cooperative economic size yang tinggi pula.
Untuk itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah tapi kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi pembangunan daerah dan implementasi rencana tersebut agar tetap memberikan bobot yang tinggi pada koperasi. Hal ini dimungkinkan karena otonomi daerah memberikan keleluasaan kepala daera untuk mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat rendah propinsi dalam pengembangan koperasi seyogianya menjadi pemicu peningkatan persaingan antar daerah agar ekonomi koperasi semakin meningkat. Studi komparatif antar propinsi dimungkinkan untuk mengetahui bagaimana upaya pengembangan ekonomi koperasi. Misalnya, bagaimana Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah secara nasional mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.
DAFTAR PUSTAKA
_____________, (2005). World Investment Report. Website UNCTAD. Swiss.
_____________, (2008). Statistik Indonesia 2008. Website BPS. Jakarta.
_____________, (2008). Statistik Bank Indonesia. Websit BI. Jakarta
Situmorang, Johnny W., (2006). Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Membership Dignity Performance Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Bahan Diskusi Isyusyu Strategis, Kedeputian Pengkajian KUKM, Kementerian KUKM. Jakarta, Kamis 12
Oktober. Jakarta.
Situmorang, Johnny W, Pariaman Sinaga, dan Rinie Sriyanti, (2006). Prototipe Model Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Cooperative Membership Dignity Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Majalah Infokop, Deputi Bidang Pengkajian
Sumberdaya UKMK, Kementerian Negara KUKM, Desember 2006. Jakarta


0 komentar:

Posting Komentar