Dessy lestari / 21210848
Juni Erbina Saragih / 23210813
Siti Amanah / 26210579
Yuli Chatrine Castro /28210741
PERINGKAT PROPINSI DALAM MEMBANGUN EKONOMI KOPERASI
ANALISIS BERDASARKAN INDEKS PEKR
Abstrak
Pembangunan ekonomi koperasi merupakan bagian integral dari ekonomi nasional
pembangunan. Kapasitas yang lebih tinggi dari daerah dalam perekonomian nasional, itu harus tercermin pada ekonomi yang lebih tinggi kerjasama regional. Dalam era outonomy daerah, koperasi developmet merupakan salah satu utama kewenangan kepala daerah. Sesuai dengan lingkungan dan iklim perubahan, setiap provinsi akan memacu untuk mengembangkan ekonomi koperasi untuk penduduk materalizing perekonomian.Salah satu dorongan untuk meningkatkan persaingan antar daerah adalah dengan mengidentifikasi posisi provinsi secara nasional. Dengan menggunakan kinerja ekonomi regional koperasi / PEKR indeks, maka peringkat provinsi di dapat diidentifikasi. Hasil analisis menunjukkan yang baik
kinerja dari satu provinsi tidak selalu ditunjukkan oleh kapasitas ekonomi tinggi regional di
perekonomian nasional. Pada 2006, peringkat tertinggi dicapai oleh Provinsi Gorontalo,
meskipun provinsi ini memiliki kapasitas ekonomi yang rendah daerah, tetapi mampu menciptakan yang sangat ekonomi koperasi tinggi.
PENDAHULUAN
Pasca
krisis ekonomi Indonesia telah memasuki usia satu dekade.
Kemajuan perekonomian Indonesia secara mendasar masih belum signifikan,
meskipun stabilitas ekonomi makro telah pulih, khususnya dari indikator
nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi yang terkendali, dan neraca
perdagangan luar negeri yang positif, yang didukung oleh stabilitas
politik. Sektor riil masih belum berkembang secara signifikan sejalan
dengan stabilitas makro. Perekonomian secara mikro masih belum
terpulihkan secara nyata karena engine of growthyang penting,
yakni investasi dan dunia usaha, belum terpulihkan. Pangsa investasi
terhadap PDB masih sekitar 22% selama ini, sangat jauh dari harapan
untuk menjamin bergeraknya sektor riil. Untuk stabilitas sektor riil
semestinya pangsa investasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di atas
35%. Sementara target pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan
dukungan investasi yang tinggi pula baik dari investasi langsung
nasional maupun asing (FDI). Dunia usaha, khususnya lembaga koperasi,
belum menjadi andalan dalam menggerakkan sumberdaya domestik. Itu
sebabnya, pengangguran dan kemiskinan masih menjadi persoalan pokok
pembangunan ekonomi yang tidak hanya di perdesaan juga sudah menggapai
perkotaan. Pengangguran dan kemiskinan di kota terjadi lebih diperparah
oleh urbanisasi orang-orang dari pedesaan yang umumnya tidak mempunyai
keterampilan dan keahlian di bidang usaha yang berciri perkotaan.
Persoalan
mendasar yang menjadi penentu kemampuan menarik investasi ke Indonesia
adalah iklim investasi dan bisnis yang tidak kondusif. Dari berbagai
survey nasional dan internasional menyangkut bisnis dan ekonomi,
Indonesia selalu berada pada posisi yang rendah dibandingkan dengan
negara-negara lain. Artinya, Indonesia belum menjadi negara tujuan
investasi. Kalaupun ada aliran investasi ke Indonesia belum menyentuh
bidang usaha yang menjadi andalan perekonomian dan masih terlihat
dunia usaha lebih menyukai pusat operasinya di regional (daerah)
tertentu saja, khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Aliran investasi
dalam rangka PMDN dan PMA separuhnya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa
dan Bali, dan sisanya dibagi oleh regional lainnya. Pola ini jelas dapat
semakin memperbesar kesenjangan antar regional dimana regional
selain Pulau Jawa dan Bali pembangunan ekonominya semakin jauh
tertinggal. Kesenjangan antar regional ini sekaligus juga mempersulit
upaya penanggulangan pengangguran dan kemiskinan. Bila kesenjangan ini
masih berlanjut, itu mencerminkan pula kurang tepatnya strategi
Pemerintah secara nasional menarik investasi dalam rangka pemulihan
ekonomi dari krisis dan revitalisasi perekonomian.
Sejalan
dengan otonomi daerah, kesenjangan pembangunan antar daerah yang tinggi
menunjukkan tujuan otonomi daerah tidak tercapai dalam rangka
menyejahterakan rakyat. Dengan otonomi, semestinya daerah, kabupaten,
kota, dan propinsi, harus berlomba menunjukkan prestasi yang nyata di
tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat.
Mobilisasi
sumberdaya lokal, praktis di bawah kendali pemerintahan lokal dan
propinsi. Dengan demokrasi politik pemilihan langsung gubernur, bupati,
dan walikota memberikan harapan kesungguhan setiap daerah membangun
ekonomi dengan prinsip kompetisi. Program-program pembangunan menjadi
implementasi strategi setiap pemimpin daerah dalam mewujudkan visi dan
misi ketika kampanye pemilihan kepala daerah tersebut.
Secara
praktis dapat dikatakan bahwa otonomi daerah memberikan kesempatan
seluasluasnya kepada daerah untuk membangun sesuai dengan kapasitas
daerah itu di tengah perubahan lingkungan strategis yang
cepat. Pembangunan koperasi adalah salah satu strategi setiap kepala
daerah dalam pembangunan ekonomi. Mengapa demikian? Karena koperasi
telah dikenal luas selama ini sebagai lembaga yang dianggap mampu
mewadahi masyarakat mencapai cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat berdasarkan kultur kerjasama. Secara ideal, koperasi tidak hanya
sebagai badan usaha rakyat tapi juga sebagai lembaga yang dianggap
mampu mengejawantahkan peran konstitusi (pasal 33 UUD 1945) dalam
konteks ekonomi kerakyatan. Secara faktual, koperasi merupakan salah
satu pelaku ekonomi sebagaimana bentuk badan usaha lain, seperti
perseroan terbatas (PT). Dalam era otonomi daerah jelaslah bahwa
pengembangan ekonomi koperasi menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari pembangunan ekonomi nasional dan regional. Tentunya, para kepala
daerah juga harus berlomba memajukan ekonomi koperasi di daerahnya.
Apakah
perekonomian daerah yang tinggi dapat mencerminkan kemampuan propinsi
mengembangkan koperasi? Hal ini patut dipertanyakan mengingat
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah di Pulau Jawa dan
Bali yang paling tinggi di Indonesia, ketersediaan infrastruktur yang
lebih baik dari wilayah lainnya, serta jumlah penduduk yang banyak
seyogianya mencerminkan kemampuan yang lebih tinggi Pulau Jawa dan Bali
dalam mengembangkan ekonomi koperasi. Tulisan ini merupakan
hasil analisis terhadap performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada tahun 2006 dengan menampilkan posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi. Dengan menggunakan metode indeks, analisis ini menarik untuk disimak karena dapat menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak mencerminkan sepenuhnya kemampuan mengembangkan ekonomi koperasi. Daerah di Pulau Jawa dan Bali sebagai daerah yang kuat perekonomian ternyata posisinya di bawah
hasil analisis terhadap performa propinsi alam pengembangan ekonomi koperasi pada tahun 2006 dengan menampilkan posisi atau peringkat propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi. Dengan menggunakan metode indeks, analisis ini menarik untuk disimak karena dapat menjadi gambaran bahwa ukuran perekonomi daerah yang kuat tidak mencerminkan sepenuhnya kemampuan mengembangkan ekonomi koperasi. Daerah di Pulau Jawa dan Bali sebagai daerah yang kuat perekonomian ternyata posisinya di bawah
daerah
lainnya yang di luar P. Jawa dan Bali. Hasil analisis ini juga dapat
membuktikan apakah strategi pemerintah daerah dan pusat, khususnya
lembaga pemerintah yang bertanggungjawab pengembangan koperasi, mampu
menjawab permasalahan dasar perekonomian sesuai grand strategies
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), khususnya dalam
rangka otonomi daerah. Dengan kata lain, apakah pola pembangunan
koperasi menjamin perbaikan perekonomian daerah dan nasional atau
berpotensi untuk meningkatkan kesejanjangan antar daerah bila pola tersebut terjadi terus menerus.
berpotensi untuk meningkatkan kesejanjangan antar daerah bila pola tersebut terjadi terus menerus.
METODE ANALISIS
Berbagai
metode dapat dikembangkan untuk menjawab masalah yang dikemukakan di
atas. Selama ini, persoalan menyangkut peran koperasi lebih
sering dikumandangkan berdasarkan analisis historikal yang normatif.
Tulisan ini mencoba menampilkan analisis yang lebih positif dengan
menggunakan fakta empirik menyangkut posisi ekonomi koperasi dikaitkan
dengan kemampuan ekonomi regional dimana koperasi itu berada. Pendekatan
relatifitas menjadi dasar dalam analisis ini. Untuk mengetahui performa
propinsi dalam pengembangan ekonomi koperasi digunakan metode
indeks, berdasarkan Indeks Performa Ekonomi Koperasi Regional (IPEKR)
dari sisi regional atau propinsi atau kawasan Indonesia (selanjutnya
disebut regional) atau Regional Cooperative Economic Performance Index
(RCEPI). IPEKR atau indeks RCEP menjelaskan bagaimana performa relatif
ekonomi koperasi secara regional (cooperative economic size by
region) atau ukuran ekonomi koperasi setiap propinsi terhadap relatif
ekonomi regional secara nasional (economic size relative by region).
Secara metodik, IPEKR adalah perbandingan antara rasio nilai ekonomi
atau bisnis koperasi regional dengan nasional yang dinyatakan sebagai
ukuran ekonomi koperasi dengan rasio ekonomi regional propinsi tersebut
dengan
nasional.
nasional.
Metode
ini cukup baik untuk menjelaskan rating dan peringkat
regional/propinsi dalam pengembangan ekonomi atau bisnis koperasi), dan
telah digunakan oleh para analis atau peneliti ekonomi untuk melihat
posisi berbagai aspek, antara lain komoditas dalam
ekspor, negara dan propinsi menarik investasi, dan juga pembangunan wilayah. Untuk mengetahui dayasaing pasar suatu komoditas misalnya, metode ini digunakan dalam perdagangan luar negeri. UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development) menggunakan metode ini untuk analisis posisi negara-negara menarik FDI dalam the World Investment Report (WIR) setiap tahunnya.
ekspor, negara dan propinsi menarik investasi, dan juga pembangunan wilayah. Untuk mengetahui dayasaing pasar suatu komoditas misalnya, metode ini digunakan dalam perdagangan luar negeri. UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development) menggunakan metode ini untuk analisis posisi negara-negara menarik FDI dalam the World Investment Report (WIR) setiap tahunnya.
Demikian
juga penulis sendiri telah menggunakannya dalam memeringkat sektor
perekonomian dan regional dalam menarik investasi PMDN dan PMA. Pada
tahun 2007, Kementerian Negara KUKM melalui Deputi Bidang Pengkajian
Sumberdaya KUKM juga mencoba menggunakannya untuk memeringkat propinsi
dalam pembangunan KUKM. Dalam pembangunan wilayah, metode ini biasanya
digunakan sebagai implementasi teori lokasi untuk menetukan
lokasi perencanaan wilayah.
Analisis
ini menggunakan data sekunder yang agregatif yang berasal dari
Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bank Indonesia (BI) yang tertampil
dalam website masingmasing lembaga. Data PDB dan PDRB adalah
masing-masing pendapatan domestik bruto Indonesia dan propinsi.
Sedangkan data volume usaha adalah nilai total volume usaha koperasi
baik propinsi maupun nasional pada tahun 2006.
Seyogianya,
performa tahun 2007 lebih mutakhir digambarkan dalam analisis ini.
Namun data PDRB tidak tersedia. Bahkan untuk tahun 2006, sebagian
propinsi belum mampu menampilkan data PDRB. Sehingga penulis melakukan
elaborasi berdasarkan ukuran tahun-tahun sebelumnya dengan asumsi,
pangsa propinsi terhadap nasional hampir tidak berubah dalam
jangka pendek. Dalam analisis ini dimasukkan juga bagaimana perbedaan
performa pengembangan ekonomi koperasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI)
yang terdiri dari Pulau Sumatera, Jawa dan Bali, dan sisanya Kawasan
Timur Indonesia (KTI).
HASIL ANALISIS
1. Rating dan Peringkat Propinsi
Sebagaimana
terlihat dalam metode analisis, IPEK merupakan ukuran rating propinsi
dalam performa ekonomi koperasi. Pada tahun 2006, sebaran
rating propinsi sangat beragam. Rating tertinggi adalah mencapai 5.6086
dan terendah 0.1224. Rating 5.6086 menunjukkan bahwa performa ekonomi
koperasi regional mencapai 5.61 kali lebih tinggi daripada kemampuan
ekonomi regionalnya.
Dengan
kata lain, setiap 1% pangsa ekonomi regional terhadap nasional
akan menciptakan 5.61% ekonomi koperasi regional. Rating 0.1224 berarti
setiap 1% pangsa ekonomi regional hanya menciptakan 0.1224% ekonomi
koperasi atau 87.76% di bawah kapasitas ekonomi regionalnya.
2. Ukuran Ekonomi Regional
Sejauhmana
kemampuan ekonomi relatif regional/propinsi terhadap nasional merupakan
ukuran ekonomi regional atau kapasitas dari propinsi tersebut dalam
bidang ekonomi. Kapasitas itu diukur berdasarkan PDRB dan PDB yang biasa
digunakan untuk mengukur perekonomian. Sepanjang tahun 2001-2005,
PDB Indonesia mencapai rata-rata Rp1921.96 triliun per tahun. Selama
kurun waktu tersebut, kontribusi PDRB terhadap PDB tertinggi adalah
Propinsi DKI Jakarta, mencapai 15.7-18.4% atau rata-rata 16.6% per
tahun, menyusul Jawa Timur 13.9-15.2% atau rata-rata 15% per tahun, dan
Jawa Barat 13-14.9% atau rata-rata 13.6%, dan terrendah adalah Propinsi
Gorontalo, sebesar rata-rata 0.12%. Propinsi-propinsi di Jawa, kecuali
D.I .Yogyakarta dan Banten, termasuk penyumbang pendapatan terbesar
secara nasional.
Pada
tahun 2006, PDB Indonesia telah mencapai Rp3339.48 triliun. Kontribusi
ekonomi regional terhadap PDB tertinggi adalah 0.1502 atau 15.02% dari
PDB dan terrendah adalah 0.0007 atau hanya 0.07% dari PDB.
Kontribusi ekonomi regional rata-rata adalah 0.0303 atau 3.03%. Oleh
karena itu kontribusi di atas 3.03% telah menunjukkan yang tinggi dalam
perekonomian. Pada Grafik 1
terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan.
terlihat DKI Jakarta adalah propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional tertinggi dengan UER sebesar 0.1502 dan Gorontalo yang terendah, sebesar 0.0007. Propinsi yang mempunyai kapasitas ekonomi regional yang tinggi hanya sebanyak 7 (tujuh), yakni secara berturutan.
DKI
Yakarta (1), Jawa Timur (2), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (4),
Kalimantan Timur (5), Riau (6), dan Sumatera Utara (7), selebihnya
rendah dan sangat rendah. Kelompok propinsi terrendah kapasitas ekonomi
regional sebanyak 14 propinsi dan Maluku, Sulawesi Barat, Maluku Utara,
dan Gorontolo merupakan kelompok paling rendah. Posisi ekonomi propinsi
ini sejalan dengan gambaran perbedaan
kapasitas kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap nasional.
kapasitas kawasan antara KBI dan KTI dimana kontribusi ekonomi KBI mencapai 77.8% terhadap nasional.
Memperhatikan
kapasitas regional pada grafik 1, semestinya propinsi yang memiliki
kapasitas tinggi dalam perekonomian akan menunjukkan performa ekonomi
koperasi yang juga harus tinggi. Misalnya, dengan UER DKI
Jakarta 0.1502, Jatim 0.1419, Jabar 0.1418, dan Jateng 0.0844 maka
ukuran ekonomi koperasi (cooperative economic size) di masing-masing
propinsi itu semestinya
akan mencapai minimal angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal tersebut sangat tergantung pada strategi dan upaya propinsi menggerakkan sumberdaya ekonomi koperasi di wilayahnya. Kalau propinsi tersebut mampu menggerakkan sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi tersebut dinyatakan bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi regionalnya.
akan mencapai minimal angka-angka tersebut. Namur kenyataannya berbeda, hal tersebut sangat tergantung pada strategi dan upaya propinsi menggerakkan sumberdaya ekonomi koperasi di wilayahnya. Kalau propinsi tersebut mampu menggerakkan sumberdaya koperasi melebihi UER-nya maka propinsi tersebut dinyatakan bekerja secara penuh memanfaatkan kapasitas ekonomi regionalnya.
Sebaliknya,
kalau propinsi tersebut tidak sanggup menggerakkan sumberdayanya maka
performa ekonomi koperasi regional akan rendah. Artinya, propinsi
tidak mampu menggunakan kapasitas ekonominya dengan baik untuk
memajukan koperasi sebagai wujud ekonomi rakyat.
3. Ukuran Ekonomi Koperasi Regional
Gambaran
mengenai kemampuan propinsi mengembangkan ekonomi koperasi terlihat
dari ukuran ekonomi koperasi regional (UEKR). Dimensi ini menunjukkan
sejauhmana propinsi memberikan kontribusi terhadap ekonomi koperasi
secara nasional. Indikator ini juga mencerminkan kapasitas propinsi
dalam ekonomi koperasi. Pada Grafik 3 memperlihatkan bagaimana
distribusi ekonomi koperasi menurut propinsi. Nilai UEKR tertinggi
mencapai 0.3352 dan terendah sebesar 0.0002. Sama dengan ukuran ekonomi
regional, nilai rata-rata adalah 0.0302. Sehingga propinsi yang
memperoleh angka UEKR di atas 0.0302 adalah kategori tinggi ukuran
ekonomi koperasinya. Dari semua propinsi, hanya 6 propinsi atau 18.2%
dari seluruh propinsi yang memperoleh UEKR di atas 0.03, yakni secara
berurutan Jawa Timur (0.3352), Jawa Barat (0.1414), Jawa Tengah
(0.1412), DKI Jakarta (0.0780), dan Bali (0.0400). Kelima propinsi ini
memberikan sumbangan terhadap ekonomi koperasi secara nasional mencapai
73.58%, sisanya10 merupakan kontribusi 28 propinsi lainnya. Posisi
propinsi ini ditinjau dari UEKR sesuai dengan kondisi sumberdaya dan
aksesibilitas daerah tersebut sebagai pusat ekonomi Indonesia.
Kapasitas
ekonomi regional, yakni propinsi, pulau, dan kawasan, berdasarkan UER
dan UEKR yang tinggi ternyata belum menjamin tingginya peringkat
propinsi itu dalam performa ekonomi koperasi. Sebagaimana uraian pada
Bab Rating dan Peringkat, terungkap bahwa IPEKR beberapa propinsi
yang memiliki kapasitas tinggi baik ekonomi regional maupun ekonomi
koperasi. Hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah yang masuk dalam kategori
performa baik. Sedangkan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta
tidak termasuk sebagai propinsi yang performanya baik. Justru sebagian
besar propinsi yang kapasitas ekonomi regional yang rendah menduduki
posisi tinggi dengan performa baik.
Mengapa
bisa begitu? Hal itu disebabkan oleh kapasitas ekonomi regional
yang tinggi tidak mampu menjadi penggerak ekonomi koperasinya.
Artinya, pengembangan ekonomi koperasi di bawah kemampuan atau potensi
ekonomi yang dimiliki. Misalnya Jawa Barat dengan UER sebesar 14.18%
hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 14.14%. Demikian juga DKI Jakarta
dengan UER 15.02% hanya mampu menciptakan UEKR sebesar 7.8%. Sementara
Gorontalo yang hanya mempunyai kapasitas ekonomi regional sebesar 0.07%
malah mampu menciptakan ekonomi koperasi sebesar 0.37%. Demikian juga
Bali dengan kapasitas ekonomi regional 1.12% mampu menciptakan ekonomi
koperasinya sebesar 4.0%. Berdasarkan pulau, Bali dan Nusa Tenggara yang
hanya mempunyai kapasitas ekonomi 2.55% ternyata mampu menciptakan
ekonomi koperasi sebesar 5.38% yang mengalahkan Jawa dengan kapasitas
ekonomi regional mencapai 55.6% tapi hanya mampu menciptakan ekonomi
koperasi sebesar 73.5%. Sumatera misalnya, dengan kapasitas ekonomi
regionalnya mencapai 21.35% tapi hanya 12 mampu menciptakan ekonomi
koperasi di Sumatera sebesar 13.26%, jauh di bawah kapasitasnya.
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat dinyatakan model analisis PEKR (Performa
Ekonomi Koperasi Regional) dapat menjelaskan dengan baik posisi propinsi
dalam perekonomian koperasi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
peringkat tertinggi propinsi tidak selalu mencerminkan ukuran ekonomi
regional yang tinggi secara nasional. Justru beberapa propinsi yang
kapasitas ekonomi regionalnya rendah terhadap nasional menempati
posisi yang tinggi ditinjau dari performanya. Penyebabnya terkait pada
strategi mobilisasi kekuatan ekonomi yang tidak fokus pada koperasi.
Walaupun para kepala daerah selalu menyatakan bahwa koperasi menjadi
andalan untuk memajukan ekonomi rakyat, ternyata tidak mampu diwujudkan
dalam proses pembangunan daerah. Dari kenyataan ini terindikasi adanya
kecendurangan bahwa pernyataan yang mengutamakan peran koperasi sebagai
sokoguru perekonomian rakyat lebih sekedar retorika politik dari kepala
daerah yang performanya rendah.
Ditinjau
dari kapasitas ekonomi regional dan ukuran ekonomi
koperasi, kecenderungan terjadinya disparitas antar regional (propinsi,
pulau, dan kawasan). Disparitas ini disebabkan oleh dukungan fasilitas
(infrastruktur dan struktur) dan akses (pasar, informasi, dan finansial)
yang sangat berbeda, serta jumlah penduduk yang lebih banyak.
Disparitas ini tentunya tidak menguntungkan semua pihak baik secara
lokal, regional, dan nasional. Semestinya, economic size yang tinggi
akan menyebabkan cooperative economic size yang tinggi pula.
Untuk
itu, sudah saatnya bagi kepala daerah yang peringkatnya rendah
tapi kapasitas ekonominya tinggi meninjau kembali rencana strategi
pembangunan daerah dan implementasi rencana tersebut agar tetap
memberikan bobot yang tinggi pada koperasi. Hal ini dimungkinkan karena
otonomi daerah memberikan keleluasaan kepala daera untuk mengambil
keputusan yang tepat sesuai dengan spesifik lokal daerahnya. Peringkat
rendah propinsi dalam pengembangan koperasi seyogianya menjadi pemicu
peningkatan persaingan antar daerah agar ekonomi koperasi semakin
meningkat. Studi komparatif antar propinsi dimungkinkan untuk mengetahui
bagaimana upaya pengembangan ekonomi koperasi. Misalnya, bagaimana
Gorontalo yang kapasitas ekonomi regionalnya rendah secara nasional
mampu menduduki peringkat teratas dalam performa ekonomi koperasi.
DAFTAR PUSTAKA
_____________, (2005). World Investment Report. Website UNCTAD. Swiss.
_____________, (2008). Statistik Indonesia 2008. Website BPS. Jakarta.
_____________, (2008). Statistik Bank Indonesia. Websit BI. Jakarta
Situmorang, Johnny W., (2006). Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Membership Dignity Performance Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Bahan Diskusi Isyusyu Strategis, Kedeputian Pengkajian KUKM, Kementerian KUKM. Jakarta, Kamis 12
Oktober. Jakarta.
Situmorang, Johnny W, Pariaman Sinaga, dan Rinie Sriyanti, (2006). Prototipe Model Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Cooperative Membership Dignity Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Majalah Infokop, Deputi Bidang Pengkajian
Sumberdaya UKMK, Kementerian Negara KUKM, Desember 2006. Jakarta
_____________, (2008). Statistik Indonesia 2008. Website BPS. Jakarta.
_____________, (2008). Statistik Bank Indonesia. Websit BI. Jakarta
Situmorang, Johnny W., (2006). Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Membership Dignity Performance Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Bahan Diskusi Isyusyu Strategis, Kedeputian Pengkajian KUKM, Kementerian KUKM. Jakarta, Kamis 12
Oktober. Jakarta.
Situmorang, Johnny W, Pariaman Sinaga, dan Rinie Sriyanti, (2006). Prototipe Model Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan Cooperative Membership Dignity Index. Studi Kasus Koperasi di Kabupaten Bandung. Majalah Infokop, Deputi Bidang Pengkajian
Sumberdaya UKMK, Kementerian Negara KUKM, Desember 2006. Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar