Airin Akte Savira / 20210444 (airinsavira_04)
Dessy lestari / 21210848 (dessy.lestari)
Juni Erbina Saragih / 23210813 (junierbinasaragih)
Siti Amanah / 26210579 (siti_amanah10)
Yuli Chatrine Castro /28210741 (chaterinecastro)
Dessy lestari / 21210848 (dessy.lestari)
Juni Erbina Saragih / 23210813 (junierbinasaragih)
Siti Amanah / 26210579 (siti_amanah10)
Yuli Chatrine Castro /28210741 (chaterinecastro)
Judul :
TINJAUAN PROSPEK KOPERASI
INDONESIA DARI PERSPEKTIF DISIPLIN
ILMU MANAJEMEN BISNIS
Abstrak
Naskah ini adalah hasil dari penilaian Deputi asisten untuk Koperasi Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Melalui berbagai perbaikan, hasil ini kembali terbungkus oleh penulis untukt disesuaikan format naskah jurnal. Diskusi tentang koperasi selalu masih menarik, meskipun selalu mengundang pertanyaan yang tidak jarang tidak proporsional. tidak semua persoalannya bisa menjawab dalam laporan penilaian, namun diharapkan bisa memberikan warna pandangan lain dan bisa menjadi pertanyaan baru. Namun, hal yang menarik dari penilaian ini adalah bahwa dari sudut pandang disiplin manajemen bisnis, lingkungan bisnis global perubahan semua organisasi yang lebih membujuk kooperatif menerapkan disiplin manajemen modern
merumuskan tujuan dan strategi realokasi, restrukturisasi dan sumber daya ke arah mana lebih inovatif untuk menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Dari perspektif
bersangkutan, praktek manajemen sekarang telah ditinggalkan dan menjadi tidak relevan dengan mengejar era. Ini hanya, yang mencerminkan pertumbuhan lamban koperasi, bahkan stagnan di Indonesia yang ditunjukkan oleh efek kelemahan mendasar dalam menerapkan fungsi manajemen. Setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, organisasi koperasi yang diharapkan menjadi pilar atau sokoguru perekonomian nasional dan gerakan ekonomi rakyat masih terus dipertanyakan. Sebab perkembangannya belum sesuai dengan harapan atau mendekati taraf yang dicapai di negara-negara lain. Fenomena empiris koperasi Indonesia jika dibandingkan dengan praktek koperasi di berbagai negara industri maju yang menganut sistem ekonomi liberal dan kapitalistik dinilai oleh banyak kalangan masih jauh tertinggal, atau jalan di tempat (stagnant) dan cenderung tergantung pada fasilitas dan bantuan pemerintah. Bahkan, sebagian kalangan lain berpendapat bahwa koperasi lebih sering dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya. Pendapat ini dapat ditelusuri berdasarkan data perkembangan koperasi tahun 2006. Secara kuantitatif, total lembaga koperasi di Indonesia tercatat sebanyak 138.411 unit, dengan jumlah anggota 27.042.342 orang. Namun, dari jumlah tersebut jumlah koperasi aktif hanya sebanyak 43.703 unit atau hanya sekitar 31,5 persen saja. Hal ini menunjukkanbahwa koperasi sebagai lembaga ekonomi memiliki derajat kompleksitas yang lebih tinggi. Kompleksitas ini menyebabkan pertumbuhan koperasi yang berkualitas sangat terbatas dan cenderung kurang dapat diandalkan untuk mengatasi problem sosial ekonomi dalam masyarakat. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinan disebabkan oleh muatan dan beban Peneliti Utama pada Deput Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK koperasi yang sarat dengan aspek-aspek non ekonomi, mis-management atau bahkan under managed. Aktivitas koperasi sebagai badan usaha, tidak terlepas dari berbagai pengaruh, baik dari lingkungan internal (SDM, organisasi dan kelembagaan, manajemen, modal, ragam usaha, keanggotaan, teknologi) maupun lingkungan eksternal (sosial budaya, politik, perekonomian, hukum, informasi, dan perkembangan iptek) di tingkat regional, nasional dan internasional. Pengaruh ini sebenarnya mendorong terciptanya perubahan karena adanya tantangan dan sekaligus peluang bagi pengembangan koperasi. Namun, dapat pula menjadi ancaman akibat tingkat persaingan yang semakin ketat. Konsekwensinya, manakala koperasi tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka perubahan hanya menjadi masalah bagi koperasi. Fakta ini menjadi pertanyaan mendasar yaitu:
1) apakah koperasi masih
relevan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang mengalami
perubahan?
2) jikalau masih relevan,
mengapa koperasi belum berkembang di Indonesia?
3) apakah kondisi masyarakat
Indonesia sekarang masih kondusif bagi pengembangan
ekonomi rakyat melalui
kelompok atau koperasi?
4) apakah proses
pengembangan
koperasi di Indonesia masih
sejalan dengan konsep/teori ekonomi, manajemen, sosial
budaya, psikologi, serta
hukum yang berlaku umum?
5) apakah berkoperasi
merupakan salah satu pilihan untuk mensejahterakan masyarakat?
6) bagaimana pola
pengembangan koperasi di masa depan pada lingkungan yang dinamis? Keenam
pertanyaan di atas dikaji secara komprehensif melalui perspektif disiplin ilmu
Manajemen Bisnis terhadap prospek masa depan koperasi Indonesia.
1.1
Maksud dan Tujuan
Kajian ini dimaksudkan untuk
menjawab berbagai persoalan yang sedang berlangsung dalam kehidupan gerakan
koperasi di Indonesia. Secara spesifik tujuan kajian ini adalah untuk
(1) Mengetahui prospek
pengembangan koperasi di Indonesia ditinjau dari perspektif ilmu manajemen, dan
(2) Menyusun rekomendasi tentang
pendekatan pemberdayaan koperasi dalam lingkungan yang berubah dengan
mempertimbangkan dimensi ilmu manajemen.
2.Pendekatan
Masalah
2.1 Globalisasi dan
Manajemen
Globalisasi adalah suatu
fakta kehidupan yang sulit terhindar. Kehidupan terpengaruh oleh arus
globalisasi terutama kalangan dunia usaha. Badan usaha yang berkeinginan untuk
bertahan dalam pasar dituntut untuk memiliki fokus global, tidak hanya
perusahaan besar bahkan bisnis kecilpun mulai berorientasi global. Terkait
dengan kondisi ini, Stoner menyatakan bahwa globalisasi menyumbang tiga
fenomena yang saling berkaitan yaitu faktor kedekatan, lokasi dan sikap.
Apabila disatukan, ketiga faktor tersebut menekankan suatu susunan kompleksitas
yang belum pernah terjadi dan dihadapi sebelumnya oleh para manajer organisasi
bisnis. Globalisasi mendorong sikap baru yang lebih terbuka dalam mempraktekkan
manajemen secara internasional. Sikap ini menggabungkan dunia di luar
batas-batas nasionalismenya dengan kemampuan berpartisipasi dalam ekonomi
global. Ohmae (2000), menjelaskan gejala ini dengan pernyataan yang sederhana
bahwa ”sekarang tidak ada lagi luar negeri”. Implikasi dari perkembangan
globalisasi terhadap konsepsi, pemikiran dan praktek-praktek manajemen pada
berbagai organisasi khususnya pada organisasi bisnis kian tidak terhindarkan.
Semua hal yang semula memadai dan cocok diterapkan pada situasi budaya lama
menjadi usang dengan munculnya globalisasi dan pasar bebas. Dalam organisasi
bisnis saat ini hanya yang paling adaptif yang akan mampu bertahan. Perusahaan
atau organisasi bisnis yang resisten dengan cara- cara lama, tidak menyesuaikan
diri dan masih belajar akan tertinggal. Dimensi lain yang mempengaruhi
keberhasilan bisnis adalah variable lingkungan eksternal seperti politik,
ekonomi, sosial budaya, iptek, informasi, etika dan hukum bisnis. Para pakar
dan praktisi bisnis menyadari bahwa perubahan lingkungan eksternal amatlah
cepat, terkadang sulit dimengerti/misterius (Rheinald Kasali, 2005). Dampaknya, kondisi pasarpun berubah yang
diindikasikan dari : Kekuasaan sudah beralih ke tangan konsumen (demand driven)
Skala produksi yang besar bukan lagi merupakan suatu keharusan. Batas negara
dan wilayah tidak lagi menjadi kendala. Teknologi dengan cepat dapat dikuasai
dan mudah ditiru. Setiap saat muncul pesaing dengan biaya yang lebih murah. Meningkatnya
kepekaan konsumen terhadap harga dan nilai.
Menghadapi kondisi tersebut,
para pelaku bisnis termasuk koperasi perlu selalu menganalisis pasar, mengenali
peluang, memformulasikan strategi pemasaran, mengembangkan taktik dan tindakan
spesifik serta menyusun anggaran dan laporan kinerja. Manajemen bisnis-pun
perlu menerapkan paradigma baru yaitu manajemen perubahan, seperti dilansir
oleh Charles Darwin (dalam Rheinald Kasali, 2005) bahwa ”bukan yang terkuat
yang mampu berumur panjang melainkan yang paling adaptif (selalu menyesuaikan
diri dengan perubahan)”. Perusahaan bisnis dianalogikan seperti mahluk hidup
yang berevolusi untuk survive dan meneruskan keturunan. Dalam evolusi, menoleh
ke belakang adalah untuk memaknai kehidupan dan tantangan kedepan dengan
perencanaan matang, cermat dan cerdas.
2.2
Konsepsi Manajemen
Pemahaman terhadap konsep
manajemen tidak dapat dipisahkan dari konsep organisasi. Secara sederhana
organisasi adalah tempat orang-orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan
tertentu sebagai elemen mendasar. Masalah pokok manajemen organisasi tidak lain
adalah bagaimana mengelola dan mengalokasikan sumber daya (manusia, modal,
fisik, uang, dll) untuk mencapai sasaran atau tujuannya. Stoner, dkk. (1996)
mendefinisikan manajemen adalah kebiasaan yang dilakukan secara sadar dan terus
menerus dalam membentuk dan menjalankan organisasi. Semua organisasi mempunyai
penanggung jawab terhadap oreganisasi untuk mencapai sasarannya, orang tersebut
adalah manajer. Memperkuat pendapat Stoner itu, Gibson, (1996) mendefinisikan
manajemen adalah suatu proses yang dilakukan oleh satu individu atau lebih
untuk mengkordinasikan berbagai aktivitas untuk mencapai hasil lebih baik yang
tidak dapat dicapai apabila individu bertindak sendiri- sendiri.
Teori manajemen ilmiah
muncul sebagai akibat dari kebutuhan organisasi untuk meningkatkan
produktivitas. Di awal abad ke 20, terutama di Amerika Serikat, tenaga kerja
terampil terasa amat kurang. Satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas
adalah meningkatkan efisiensi para pekerja. Proponen teori ini adalah Frederick
W. Taylor, Henry L. Gantt, Frank serta Lilian Gillbert.
Frederick W. Taylor
(1856-1915) dalam Stoner (1995:34), mendasarkan filosofinya pada empat prinsip
dasar manajemen yaitu :
• Metoda terbaik untuk
melaksanakan setiap tugas dapat ditentukan.
• Seleksi ilmiah para
pekerja dengan pemberian tanggung jawab melakukan
tugas yang paling sesuai.
• Pendidikan dan pelatihan
yang berkelanjutan bagi para pekerja.
• Kerja sama bersahabat dan
secara pribadi antara manajemen dan tenaga
kerja.
Keberhasilan menerapkan
keempat prinsip tersebut memerlukan revolusi mental pihak manajemen dan tenaga
kerja untuk bekerjasama meningkatkan produksi yang pada gilirannya laba akan
meningkat sehingga kesejahteraan karyawanpun membaik pula. Salah satu upaya
Taylor yang paling populer adalah mengenai studi gerak dan waktu (time motion
study) pada lini produksi. Kontribusi Taylor dapat dilihat pada lini perakitan
pabrik mobil yang menghasilkan produk akhir lebih cepat dari sebelumnya. Keajaiban
peningkatan produktivitas ini hanya salah satu warisan dari manajemen ilmiah.
Teknik efisiensi Taylor telah diterapkan pada berbagai tugas dalam organisasi
non industri seperti perusahaan jasa makanan siap saji sampai pelatihan untuk
dokter bedah.
Fungsi dan Proses Manajemen
Para pakar manajemen sejak
akhir abad kesembilan belas, mendefinisikan manajemen dalam empat fungsi
spesifik, yaitu Planning, Organizing, Actuating), dan Controlling. Perkembangan
terkini, para pakar manajemen Amerika cenderung hanya menganut tiga fungsi
utama yaitu Planning, Organizing, dan Controlling sebab dianggap bahwa
Actuating sebenarnya termasuk dalam fungsi perencanaan (Gibson, et. al., 1996:174).
Proses manajemen adalah cara sistematik yang sudah ditetapkan dalam melakukan
kegiatan yang menekankan manajer terlibat dalam aktivitas yang saling terkait
dalam fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai suatu tujuan organisasi yang
diinginkan.
Dalam praktek, penerapan fungsi pengendalian
dalam manajemen modern dikaitkan dengan orientasi peningkatan kualitas secara
menyeluruh. Konsep ini dikenal sebagai Total Quality Management (TQM) dan
istilah total mengandung makna every process, every job and every person (Lewis
and Smith, 1994). Pengertian TQM dibedakan dalam dua aspek (Goetsch and Davis,
1994). Aspek pertama menguraikan pengertian TQM yaitu pendekatan dalam
menjalankan bisnis/usaha yang berupaya memaksimalkan daya saing melalui
penyempurnaan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
organisasi. Aspek kedua adalah cara mencapainya dan berkaitan dengan 10
karakteristik TQM. Creech (1996) di sisi lain mengemukakan terdapat lima pilar
untuk berhasil menerapkan TQM, yaitu produk, proses, organisasi, pemimpin dan
komitmen.
2.4
Sistem Penggajian (Renumerasi)
Para peneliti dan praktisi
manajemen telah berusaha mengembangkan pemahaman terhadap hubungan antara
struktur organisasi dengan kinerja, sikap karyawan, kepuasan kerja dan berbagai
variabel lain yang dianggap penting. Namun usaha pemahaman tersebut terhambat
oleh kerumitan hubungan diantara variabel- variabel tersebut dan kesulitan
dalam mengukur dan menentukan konsep struktur organisasi itu (Gibson, et. al.,
1996: 235). Oleh sebab itu, dimensi sistim penggajian dan sistim karier
dimasukkan dalam ranah struktur organisasi untuk kemudian menjadi variabel
sendiri dalam ranah manajemen sumberdaya manusia sebagai cabang ilmu manajemen
yang mendalami masalah tersebut. Sistem penggajian (renumerasi) atau sistem
kompensasi merupakan hal yang paling mendasar dari manajemen sumberdaya manusia
sebab adanya tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk mendapatkan kompensasi.
Kompensasi dapat mencakup insentif untuk meningkatkan motivasi karyawan yang
pada gilirannya meningkatkan produktivitas karyawan. Kompensasi didefinisikan
sebagai what employees receive in exchange for their work, including pay and
benefits. (Werther, 1994). Definisi lain menyebutkan Compensation refers to all
forms of financialreturns, tangible services, and benefits employees recieve as
part of an employment relationship. (Milkovich, 1988) Pengertian ini
menjelaskan bahwa kompensasi merupakan hal penting karena pendapatan dan
benefit lainnya pada dasarnya merupakan sesuatu untuk memenuhi banyak kebutuhan
karyawan. Selain itu juga pendapatan dan benefit lain merupakan simbol
prestise, kekuasaan, prestasi dan status karyawan dalam masyarakat. Setiap orang
yang menukarkan jasanya kepada organisasi dengan harapan akan memperoleh imbalan.
Penentuan besarnya kompensasi memerlukan banyak pertimbangan.
2.5
Sistem Karier
Dalam manajemen sumberdaya
manusia, sistem karier karyawan merupakan bagian dari program pengembangan,
penghargaan dan pemeliharaan (maintaining) karyawan. Dalam kondisi kompetisi
perusahaan industri terdapat suatu kendala yang dirasakan setiap perusahaan,
yaitu keterbatasan tersedianya sumberdaya manusia yang handal agar perusahaan
mampu bertahan. Untuk mengatasi masalah tersebut sering perusahaan mengambil
jalan pintas dengan membajak atau memberi tawaran karier dan penghargaan yang
lebih menarik dibandingkan dengan perusahaan asal. Khusus mengenai sistem
karier, rotasi dan penghargaan diakui oleh para ahli dan kalangan praktisi
manajemen bisnis dapat menunjang produktivitas kerja para karyawan, sebab
faktor tersebut berpengaruh terhadap motivasi kerja. Kaitan antara sistem
karier dan rotasi kerja dengan motivasi kerja diungkapkan oleh R. Wayne Mondy
dkk (1999) bahwa transfer karyawan dari satu bidang ke bidang kerja lainnya diantaranya
adalah untuk menumbuhkan kepuasan kerja dalam diri karyawan. Sementara itu
kepuasan kerja amat berpengaruh terhadap motivasi kerja para karyawan suatu
perusahaan. Hal senada dikemukakan oleh Robert Kreitner dkk (1998) bahwa rotasi
kerja adalah bagian dari sistem karier karyawan yang bertujuan untuk
menciptakan variasi pekerjaan bagi karyawan, sebab (1) firms often find it necessary
to reorganize, (2) to make positions available in the primary promotion channels.
Another reason is to satisfy employees personal desires and is an effective dealing
with personality clashes.
Metoda Kajian
Metoda yang diterapkan pada
kajian ini adalah explorative study yang teknik
studinya menggunakan
kombinasi antara:
• Studi Kepustakaan (Library
research), difokuskan kepada literatur perkoperasian, ekonomi koperasi,
manajemen umum, manajemen koperasi, serta hasil kajian yang relevan dengan
kegiatan ini baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan termasuk
publikasi melalui internet.
• Observasi lapangan (Field
research), dengan pendekatan expert explorative survey atau expert judgement
untuk menghimpun pendapat ahli yang berhubungan dengan tujuan kajian. Kegiatan
ini dikaitkan dengan pengumpulan data primer di koperasi sampel dan pelaksanaan
seminar di perguruan tinggi tertentu untuk menelaah kajian perkoperasian yang
pernah dilakukan.
Jenis dan Sumber Data
Data sekunder dihimpun dari
:
1. Hasil-hasil kajian
perkoperasian (dalam berbagai bentuk seperti disertasi, tesis, skripsi, dll.) dari
perguruan tinggi yang relevan dengan disiplin ilmu manajemen (dari aspek fungsi
dan proses manajemen, strategi manajemen, struktur organisasi, pembagian
tuigas, renumerasi, sistem karier dan efisiensi bisnis koperasi). Buku-buku
teks ilmu manajemen perusahaan non koperasi dan koperasi baik yang diterbitkan
di dalam negeri maupun dari luar negeri.
2. Laporan tahunan dari
beberapa koperasi yang menjadi obyek pengamatan. Data primer berasal dari hasil
observasi lapangan, wawancara dengan pengurus, manajer, karyawan, anggota dan
pendapat para ahli yang dikumpulkan dalam kegiatan seminar di perguruan tinggi.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau cara pengumpulan
data dalam kajian ini dilaksanakan dengan
cara:
1) Wawancara kepada Pengurus, Manajer, Karyawan,
dan Anggota;
2) Pengamatan langsung pada
aktivitas manajemen koperasi;
3) Studi pustaka;
4) Pengumpulan pendapat
ahli/pakar di perguruan tinggi melalui forum seminar,
konsultasi dan diskusi
terbatas.
Variabel Operasional
Variabel yang digunakan
dalam kajian ini meliputi konsepsi manajemen, proses dan fungsi manajemen,
sistim renumerasi, sistim karier, efisiensi usaha, dan positioning koperasi.
Setiap variabel kajian dijabarkan kedalam dimensi, dan indikator.
Teknik Penetapan Sampel
Wilayah kajian ditetapkan
secara sengaja di enam lokasi yaitu Propinsi Sulawesi Utara, Kalimantan Barat,
Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Propinsi Lampung. Penetapan propinsi
sampel dilakukan dengan memperhatikan keragaman dan kompleksitas koperasi baik
dilihat dari jenis, bentuk organisasi, sektor usaha, jangkauan pelayanan, skala
bisnis, heterogenitas keanggotaan,
IV. Hasil Kajian
Pemahaman Konsepsi Manajemen
Hasil observasi menunjukkan
bahwa sebagian besar responden terutama yang memiliki latar belakang pendidikan
strata satu mampu mendeskripsikan dengan baik rumusan tugas manajerialnya di
koperasi. Semakin baik pemahaman konseptual manajemen responden berarti dapat
diduga kuat adanya korelasi positif dengan performance (kinerja), suasana kerja
di kantor, dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan pada koperasi
yang diklasifikasi maju (memiliki kinerja bisnis, finansial dan organisasi yang
baik).
4.
Fungsi dan Proses Manajemen
4.2.1.
Keragaan Fungsi dan Proses Perencanaan
Dimensi Penetapan Tujuan
Dari sembilan koperasi
sampel yang diobservasi, hanya satu koperasi (KPSBU Lembang) atau 11,1 persen
yang memiliki visi jangka panjang secara tertulis, sementara delapan koperasi
lainnya belum memiliki. Visi KPSBU yang patut dicontoh oleh koperasi lainnya
adalah ”Menjadi koperasi susu terdepan di Indonesia dalam mensejahterakan
anggota”. Pada tahun 1980 jumlah anggota 319 orang dengan produksi susu
rata-rata per hari 2.840 kg kemudian jumlah anggota meningkat menjadi 6.092
orang anggota dengan produksi susu per hari 103.384 kg. Data ini
mengindikasikan bahwa KPSBU dibutuhkan oleh anggotanya, minimal untuk pemasaran
susu. Dalam perumusan tujuan (target) jangka pendek, pada umumnya koperasi
sampel merumuskannya dalam kalimat kualitatif dengan target yang tidak terukur.
Berikut ini adalah contoh tujuan koperasi yang dikumpulkan dari Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Koperasi (RAPBK) yang disampaikan dalam rapat
anggota tahunan (RAT).
Dimensi Implementasi
Dari sembilan koperasi yang
diobservasi, hanya KPSBU Lembang saja yang memiliki dokumen rencana kerja yang
dilengkapi dengan Standard Operating Procedur (SOP) dan petunjuk teknis
(Juknis) tertulis. Menurut keterangan pengurus dan manajer, KUD ketika
menangani usaha program dari pemerintah seperti penyaluran KUT, Pengadaan
Pangan, dan penyaluran Pupuk, pernah memiliki Juklak dan Juknis, meski
disusunkan oleh pihak pemerintah.
Dimensi Jenis dan Proses
Perencanaan
Fakta empiris ditemukan pada
2 KPSBU, yang sudah menerapkan proses perumusan rencana strategis jangka
panjang melalui beberapa tahapan. Kondisi ini memperkuat pendapat Ropke (1985)
bahwa pada dasarnya keberhasilan suatu koperasi dalam bidang usaha akan sangat
dipengaruhi oleh kualitas partisipasi anggota.
4.1.1.
Keragaan Fungsi dan Proses Pengorganisasian
Dimensi Struktur
Secara umum koperasi sudah
memiliki deskripsi tugas secara tertulis, meskipun dalam versi dan kedalaman
yang bervariasi. Dilihat dari formalisasi maksud dan tujuan pekerjaan yang
ditetapkan, seluruh koperasi sampel menetapkan pembagian kerja kedalam unit
atau divisi/departemen secara formal melalui keputusan rapat anggota, meskipun
disain struktur kebanyakan dilakukan oleh pengurus. Formalisasi tugas ini oleh
pengurus dijabarkan kedalam bentuk uraian tugas. Kompleksitas struktur ini
memberikan gambaran bervariasi dari yang sederhana seperti pada KSP dan yang
lebih komplek seperti pada KUD dan koperasi peternakan. Jenjang struktur
vertikal bervariasi antara tiga sampai dengan lima jenjang. Jenjang struktur
tiga tingkat yaitu Rapat Anggota, Pengurus, dan Unit ditemukan pada KUD Setia
Tani, Sumatera utara. Jenjang struktur lima tingkat dimulai dari Rapat Anggota,
Pengurus, Manajer, Unit dan Sub unit, ditemukan di tiga koperasi contoh.
Diferensiasi horizontal, yaitu kelebaran struktur pada level yang sama juga
bervariasi sesuai dengan banyaknya fungsi usaha yang ditangani. Kedalaman dan
kelebaran dari struktur organisasi koperasi ini akan menentukan rentang kendali
manajemen.
Disain Struktur
(Departementasi)
Desain organisasi koperasi
pada umumnya menggunakan model fungsional sesuai komoditas usaha yang
ditangani. Koperasi dengan disain yang optimal (ditinjau dari rasio karyawan
dengan anggota yang dilayani dan jumlah unit usaha yang ditangani) relatif
fleksibel dalam mengikuti perubahan lingkungan internal organisasi dan
eksternalnya, mampu bertahan dan cenderung berkembang. Sebaliknya bagi koperasi
yang memiliki struktur organisasi gemuk, kurang fleksibel dan diorganisasikan
dengan pola lama tanpa memanfaatkan teknologi informasi menghadapi masalah
jalan ditempat
dan cenderung tidak
berkembang.
Dimensi Pembagian Wewenang
Pembagian wewenang, tugas
dan tanggung jawab perangkat organisasi koperasi secara garis besar diatur oleh
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, tentang Perkoperasian, yang selanjutnya oleh
masing-masing koperasi dijabarkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Koperasi. Rapat Anggota memegang kekuasaan tertinggi dan memiliki kewenangan
sentral dalam pengambilan keputusan strategis koperasi. Dalam implementasinya,
pembagian wewenang ketiga parangkat organisasi koperasi tersebut di lapangan
hampir tidak ditemukan masalah, artinya masih sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Dimensi Koordinasi
Menggerakkan Organisasi
Paradigma baru peran dan
tugas pemimpin dalam dunia usaha saat ini bergeser dari cara-cara lama yang
cenderung otoriter, satu arah dimana seorang pemimpin atau manajer perusahaan
berprinsip doing things right bergeser kearah pemimpin yang lebih demokratis
dengan prinsip doing the right thing.
Standarisasi suatu proses
kegiatan yang dijabarkan dalam bentuk SOP, Juknis, Juklak hanya ditemukan
padadua koperasi sampel. Pada kedua koperasi tersebut dirasakan adanya suasana
kerja yang dinamis dengan aktifitas usaha berjalan dengan baik.
Dimensi Kerjasama
Aspek lain yang diobservasi
dalam variabel pengorganisasian adalah kerjasama koperasi dengan pihak lain.
Semua koperasi sampel yang diamati belum memanfaatkan kerjasama antar koperasi
baik dalam bentuk aliansi strategis, integrasi vertikal maupun intergrasi
horisontal (dalam rangka menurunkan biaya transaksi, mengurangi risiko
ketidakpastian, meningkatkan nilai tambah, dan memperluas pasar). Kondisi ini
masih tidak berubah dan cenderung semakin buruk. Kondisi seperti itu sejalan
dengan hasil kesimpulan penelitian Litbang Depkop bekerja sama dengan LPPM-Ikopin
pada tahun 1993. Padahal pada masa itu dukungan pemerintah terhadap KUD/koperasi
masih sangat kuat dengan fasilitas kredit program dan hak monopoli pemasaran
dari beberapa komoditi strategis seperti pupuk, kedelai, terigu, gula, susu,
dan gabah/beras.
4.1.2.
Keragaan Proses Pengendalian
Observasi tentang proses
pengendalian manajemen di koperasi sampel difokuskan kepada bebrapa indikator
seperti penetapan standar dan metoda, pengukuran prestasi, analisis, serta
tindakan korektif. Sumber informasi diperoleh dari pengamatan langsung,
penuturan responden, dokumen perencanaan dan laporan tahunan yang disampaikan
pada RAT.
Sistem Penggajian
Hasil observasi mengenai
implementasi sistem renumerasi di koperasi sampel
memberi gambaran bahwa
sistem renumerasi di koperasi keragaannya sangat
bervariasi. Semakin baik
proses penerapan manajemen di koperasi maka semakin
baik pula penerapan sistim
renumerasinya. Hal ini diindikasikan dari adanya dasar
pemberian kompensasi dan
penetapan komponen kompensasi yang jelas dalam sistim
penggajiannya pada tiga
koperasi sampel. Koperasi lainnya belum memiliki sistim
renumerasi yang jelas.
Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata kompensasi
yang diterima oleh karyawan
koperasi untuk jenis pekerjaan, tingkat pendidikan,
beban kerja dan pengalaman
yang sama dibandingkan dengan kompensasi yang
diberikan oleh perusahaan
swasta relatif masih lebih rendah.
Oman Hadipermana (2007) dari
hasil penelitiannya di Jawa Barat dan Lampung
mengemukakan bahwa
terjadinya ketidakpuasan karyawan koperasi ditemukan
karena kompensasi yang
diterima belum sesuai dengan beban kerjanya. Adanya
perasaan tidak puas dan
tidak adil dari para karyawan akan menyebabkan hal-hal
yang kurang baik bagi
pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut menurut Bernadin
(1993) disebabkan karena
adanya gap antara harapan karyawan dengan kenyataan
yang diperolehnya dari
organisasi tempat kerjanya.
Lebih lanjut Ade Umar, 2006,
”Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja dari hasil
penelitiannya di Maluku
Utara, menyimpulkan :
1. Terdapat hubungan yang
positif antara kompensasi dengan motivasi kerja
karyawan. Artinya
meningkatnya aspek kompensasi akan disertai dengan
peningkatan aspek motivasi
kerja karyawan. Meskipun terdapat indikasi bahwa
kompensasi kerja bagi
karyawan dipersepsikan pada kategori rendah sampai
cukup saja.
2. Motivasi kerja karyawan
berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.
Secara parsial motivasi
kerja berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan
pengaruh kompensasi kerja
secara langsung terhadap prestasi kerja. Artinya
walaupun kompensasi yang
diterima karyawan KUD masih rendah, tetapi
karyawan tetap memiliki
motivasi yang baik untuk berprestasi.
3. Kompensasi kerja dan
motivasi kerja secara bersama-sama (simultan)
berpengaruh positif terhadap
prestasi kerja karyawan.
Sejalan dengan
pendapat-pendapat di atas, Abdul Hamid pada tahun 2003 dari studi
kasus yang dilakukan di
Sumedang (Jawa Barat), menyimpulkan kesimpulan penting
yang diperoleh:
1. Secara kualitatif
prestasi kerja karyawan termasuk dalam kriteria cukup. Hal ini
ditunjukkan oleh jumlah skor
sebesar 58,33 persen yang masuk dalam kriteria
prestasi kerja cukup,
walaupun masih terdapat indikasi yang masuk dalam kriteria
kurang.
2. Secara kualitatif
prestasi kerja karyawan unit simpan pinjam juga masuk dalam
kriteria cukup saja.
Kesimpulan hasil-hasil
penelitian tersebut memperkuat bukti bahwa tingkat kualitas
kerja karyawan koperasi
masih rendah dan pada gilirannya akan mempengaruhi dan
menurunkan tingkat
produktivitas koperasi.
Sementara itu, belum ditemukan
penelitian lain yang difokuskan kepada
hubungan antara kompensasi,
motivasi dengan produktivitas kerja pengurus dan
menejer koperasi. Kompensasi
bagi pengurus koperasi selain dalam bentuk
honorarium atau insentif
bulanan juga dari bagian SHU dengan prosentasi tertentu.
Manajer selain memperoleh
gaji bulanan juga ditambah dengan bonus atau bagian
dari SHU. Dari pengamatan
lapangan ada indikasi sistim balas jasa bagi pengurus
dan manajer kurang
transparan sehingga terkesan memperoleh kompensasi jauh lebih
besar dibandingkan dengan
rata-rata kompensasi yang diterima karyawan.
Pada umumnya sistim karier
bagi karyawan koperasi tidak jelas atau belum
mapan dibandingkan dengan
perusahaan non koperasi. Beberapa alasan yang
diutarakan oleh para
pengurus dan manajer tentang masih buruknya sistim karier di
koperasi adalah karena
keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya
17
skala bisnis dan kemampuan
koperasi dalam memberikan kompensasi. Alasan yang
disebutkan terakhir
konsisten dengan apa yang telah dibahas pada variabel
kompensasi/renumerasi. Dari
aspek karier, nampaknya koperasi masih bukan
lembaga yang menjadi pilihan
yang menjanjikan untuk para pencari kerja di pasar
tenaga kerja. Karyawan yang
saat ini bekerja boleh jadi karena faktor keterpaksaan
karena tidak terserap oleh
perusahaan non koperasi. Dengan kata lain karyawan
koperasi masuk dalam
kualitas ketiga. SDM dengan kualitas kesatu diserap oleh
BUMS dan BUMN yang sudah
mapan. Sementara SDM dengan kualitas kedua
diserap oleh sektor pegawai
negeri.
Survey yang dilakukan IKOPIN
(Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan
Universitas Bina Nusantara,
Jakarta terhadap minat para mahasiswa tingkat akhir
untuk menjadi Wirausaha
mandiri, menyimpulkan kurang dari 10 persen responden
yang berminat menjadi
wirausaha, meski tidak dapat diserap dalam pasar kerja.
Selebihnya 90 persen
responden menyatakan tidak berminat dan memilih untuk
menjadi pegawai. Pilihan
menjadi pegawai BUMN dan BUMS yang mapan
menempati prioritas pilihan
pertama, kemudian diikuti menjadi pegawai negeri dan
tidak satupun responden
memilih koperasi sebagai tempat pilihan kariernya. Padahal
kurikulum IKOPIN memuat misi
mencetak sarjana ekonomi untuk membangun
perekonomian dengan koperasi
sebagai bentuk kelembagaan ideal bagi ekonomi
kerakyatan.
Temuan lain mengindikasikan
bahwa kewenangan sentralistik pengurus
dalam proses rekruitmen dan
penempatan pegawai berdampak kepada tidak
transparannya sistim karier
di koperasi dan cenderung memperkuat nepotisme. Akses
dan peluang kerja termasuk
pengembangan karier terindikasi kuat ditentukan oleh
adanya hubungan kekerabatan
dengan pengurus. Alasan kemampuan finansial
koperasi nampaknya bukan
unsur utama dalam hal karier karyawan. Demikian pula,
sangat jarang ditemukan
adanya koperasi yang secara pro aktif memasang iklan di
mass media untuk rekrutasi
karyawan secara terbuka.
Efisiensi Usaha Koperasi
Gambaran mengenai tingkat
rentabilitas ekonomi (RE) di koperasi sampel
menunjukkan besaran yang
bervariasi yaitu antara negatif 0,006 persen (artinya
koperasi masih menderita
kerugian) sampai 8,8 persen. Oleh karena standar RE
untuk koperasi di Indonesia
belum ada maka digunakan standar industri sebagai
pembanding. Biasanya standar
industri dikelompokkan kedalam jenis usahanya
misalnya standar RE untuk
usaha perdagangan, RE usaha manufaktur, RE usaha jasa
transportasi, RE usaha
pertambangan dan sebagainya. Cara lain yang biasa ditempuh
para ahli manajemen keuangan
adalah menggunakan standar tingkat bunga pasar dari
deposito sebagai opportunity
cost of money. Apabila tingkat bunga deposito yang
berlaku delapan persen
pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan
koperasi tidak efisien
(terjadi pemborosan pemakaian sumberdaya ekonomi). Data
lapang menunjukkan bahwa
sebagian besar koperasi sampel memiliki tingkat RE
yang rendah (tidak efisien).
Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang
bisnis keuangan mikro
menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.
Penelitian Opik Ropikoh
(2003) mengenai Evaluasi Faktor-faktor Yang
Menyebabkan Turunnya
Perputaran Modal Kerja dan Rentabilitas Ekonomis di
Majalengka, menemukan
kondisi yang lebih parah yaitu dari tahun 1998 sampai
tahun 2003, rata-rata RE
koperasi tersebut kurang dari satu persen (antara 0,14 -
18
0,32). Patut dicatat bahwa
kondisi perekonomian periode tersebut masih dalam masa
krisis.
Sebelum krisis, Lilis
Suryati (1997) meneliti Partisipasi Anggota Dalam
Kontribusi Modal dan
Pemanfaatan Pelayanan Koperasi Dihubungkan dengan
Tingkat Rentabilitas
Koperasi di Indramayu, juga mendapatkan RE dari tahun 1992
sampai tahun 1996 berkisar
antara 0,09 persen hingga 3,21 persen. Hal serupa
ditemukan dalam penelitian
Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang
Pengaruh Kualitas
Kewirausaahaan Pribadi Manajer Terhadap Profitabilitas
Koperasi. Dari hasil
penelitiannya dikemukakan probabilitas koperasi sampel yang
KSP rata-rata di bawah 5
persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa
rata-rata koperasi sampel
memiliki tingkat rentabilitas ekonomi yang lebih baik
dibandingkan dengan koperasi
jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang
lebih rendah dibandingkan
dengan lembaga keuangan mikro lainnya.
Kondisi empirik mengenai
efisiensi biaya transaksi KSP rata-rata lebih
rendah dibandingkan dengan
lembaga keuangan non koperasi seperti dibuktikan oleh
Sugiyanto (2006) yang
meneliti manfaat promosi ekonomi anggota pada KSP dan
koperasi kredit (Kopdit)
dalam bentuk efisiensi biaya pinjaman seperti biaya
administrasi, provisi dan
asuransi. Efisiensi dihitung dari selisih antara biaya
pinjaman anggota ke koperasi
dengan bila anggota meminjam kepada pihak pesaing
koperasi.
Data juga menunjukkan
gambaran yang positif terhadap bisnis keuangan
mikro yang digeluti oleh KSP
dan koperasi kredit. KSP dan Kopdit terbukti memiliki
competitive advantage yang
ditunjukkan dengan rata-rata memberikan biaya
pinjaman yang lebih murah
4,91 persen dibandingkan para pesaingnya dalam hal ini
pihak perbankan dan lembaga
keuangan lainnya. Hal ini bisa jadi karena pembinaan
dan pengawasan terhadap KSP
dan USP koperasi oleh pemerintah lebih intensif
dibandingkan dengan kegiatan
bisnis koperasi di luar sektor keuangan. Meskipun
begitu, masih banyak
ditemukan KSP/USP koperasi yang berusaha mencari celah
kelemahan dari peraturan
yang ada.
Masalah efisiensi koperasi
di negara-negara bekembang (termasuk di Indonesia)
telah menjadi bahan diskusi
panjang terhadap penyebab kegagalan koperasi. Hanel
(1985 ) mengkritisi
kegagalan koperasi di negara-negara berkembang disebabkan
oleh :
1. Dampak koperasi terhadap
pembangunan yang kurang atau sangat kurang dari
organisasi koperasi,
khususnya karena koperasi tidak banyak memberikan
sumbangan dalam mengatasi
kemiskinan dan dalam mengubah struktur
kekuasaan sosial politik
setempat bagi kepentingan golongan masyarakat yang
miskin.
2. Jasa-jasa pelayanan yang
diberikan oleh organisasi koperasi seringkali dinilai
tidak efisien dan tidak
mengarah kepada kebutuhan anggotanya, bahkan
sebaliknya hanya memberikan
manfaat bagi para petani besar yang telah maju
dan kelompok-kelompok
tertentu.
3. Tingkat efisiensi
perusahaan-perusahaan koperasi rendah (manajemen tidak
mampu, terjadi
penyelewengan, korupsi, nepotisme, dll).
4. Tingkat ofisialisasi yang
yang sering kali terlampau tinggi pada koperasi
(khususnya koperasi
pertanian), ditandai dengan dukungan/bantuan dan
pengawasan yang terlalu
besar, struktur komunikasi dan pengambilan keputusan
memperlihatkan sama seperti
pada lembaga-lembaga birokrasi pemerintah,
ketimbang sebagai suatu
organisasi swadaya yang otonom, partisipatif dan
berorientasi pada anggota.
5. Terdapat kesalahan dalam
memberikan bantuan pembangunan internasional dan
khususnya
kelemahan-kelemahan pada strategi pembangunan yang diterapkan
pemerintah untuk menunjang
organisasi koperasi.
Untuk mengatasi masalah
tersebut, Hanel merumuskan beberapa rekomendasi
tentang upaya meningkatkan
efektivitas dan efisiensi perusahaan koperasi sebagai
berikut:
1. Organisasi koperasi harus
berusaha secara efisien dan produktif, artinya koperasi
harus memberikan manfaat dan
menghasilkan potensi peningkatan pelayanan
yang cukup bagi anggotanya.
2. Organisasi koperasi harus
efisien dan efektif bagi anggotanya, artinya setiap
anggota akan menilai manfaat
partisipasi dalam usaha bersama lebih efektif
untuk mencapai kepentingan
dan tujuannya dibandingkan dengan pihak lain.
3. Dalam jangka panjang,
anggota koperasi harus dapat menerima saldo positif
antara pemanfaatan
(insentif) dari koperasi dan sumbangan (kontribusi) yang
diberikan kepada koperasi.
4. Koperasi harus mampu menghindari
terjadinya situasi dimana kemanfaatan yang
dihasilkan oleh usaha
bersama/koperasi menjadi milik umum. Artinya koperasi
harus mampu mencegah
timbulnya dampak dari penumpang gelap (free riders)
yang terjadi karena usaha
koperasi mengarah kepada usaha bukan untuk anggota.
Yuyun Wirasasmita (1991)
berpendapat bahwa kondisi koperasi setelah era
80-an dan 90-an, masih belum
banyak mengalami perubahan karena masih dalam
kondisi :
1. Fungsi dan tujuan
koperasi belum sesuai keinginan anggotanya.
2. Struktur organisasi dan
proses pengambilan keputusan sukar dimengerti dan
dikontrol dan dipandang
terlalu rumit bagi anggota.
3. Tujuan koperasi dari
sudut pandang anggota sering dianggap terlalu luas atau
terlalu sempit.
4. Karyawan koperasi dan
para manajer dalam menjalankan organisasi sangat
tanggap terhadap arahan
pengurus atau pemerintah tetapi tidak tanggap terhadap
arahan anggota.
5. Fasilitas koperasi
terbuka juga bagi non anggota sehingga tidak ada perbedaan
manfaat yang diperoleh
anggota dan non anggota.
Positioning Koperasi
Menghadapi globalisasi
dengan segala indikatornya, koperasi perlu
melakukan repositioning baik
dalam hal perilaku dan kompetensi sumberdaya
manusia sebagai bagian dari
upaya meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan
(Ignatius Roni Setiawan,
2002 dalam Sugiyanto, 2008:13). Repositioning peran
sumberdaya manusia dilakukan
dengan mengubah pemahaman organisasi tentang
peran sumberdaya manusia
yang semula dengan konsep people issues menjadi
people related business
issues yang didefinisikan sebagai persoalan bisnis yang
selalu dikaitkan dengan
peran aktif sumber daya manusia.
Peran sumberdaya manusia
akan semakin dihargai terutama terkait dengan
kompetensinya dalam
pengelolaan bisnis. Schuller dan Jackson, 1997; Ulrich D.,
1997 (dalam Sugiyanto,
2008), menawarkan empat hal pokok yang berkenaan
20
dengan peran sumberdaya
manusia, yaitu menjadi mitra strategis (strategic partner),
menjadi ahli administrasi
(administrative expert), menjadi pelopor/pejuang
(employee champion), dan menjadi
agen perubahan (agent of change).
Hasil analisis Sugiyanto
(2006:9) menyebutkan bahwa kinerja perusahaan
koperasi di Indonesia pada
tahun 2003 dan 2004, berdasarkan kinerja pengembalian
asset yang diinvestasikan
kedalam perusahaan koperasi dengan ukuran Return on
Asset (ROA) rata-rata hanya
sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia
yang handal untuk mengelola
bisnis koperasi juga masih kurang. Tidak semua
koperasi memiliki manajer,
hanya satu dari empat koperasi yang telah mampu
memiliki manajer. Rata-rata
partisipasi kontributif anggota (kontribusi modal) hanya
sebesar Rp 435,614,-.
Rendahnya rata-rata kinerja
koperasi, terutama dilihat dari efisiensi usaha
(RE) secara empiris
berkaitan erat dengan lemahnya proses manajemen yang berawal
dari fungsi perencanaan,
pengorganisasian, Pelaksanaan, dan pengendalian yang
lemah termasuk sistim
renumerasi, dan sistim karier. Dari sembilan koperasi yang
diobservasi hanya dua
koperasi (22,22 persen) saja yang telah menerapkan prinsip
dan proses manajemen dengan
relatif baik. Dalam pembahasan sebelumnya diduga
hal ini karena koperasi
tidak memiliki cukup sumberdaya yang kompeten di bidang
manajerial, atau memiliki
pengetahuan dan kompetensi yang cukup baik tetapi tidak
memiliki komitmen yang
tinggi untuk menerapkan ilmu manajemen di koperasi.
Kedua faktor penyebab secara
simultan memiliki pengaruh dominan terhadap
positioning koperasi yang
buruk.
Positioning koperasi di era
globalisasi perdagangan bebas hanya dapat
dipertahankan bila koperasi
mampu dikelola dengan baik dan memberikan manfaat
ekonomi bagi anggotanya
melalui penciptaan keunggulan kompetitif yang dapat
disediakan koperasi bagi
anggota. Manfaat ekonomi inilah yang akan menyebabkan
tingginya loyalitas dan
partisipasi anggota terhadap koperasinya.
Ropke (1989), Andang K.
(1993) dalam Sugiyanto (2006:12) mengajukan
model matrik positioning
koperasi dari hubungan antara partisipasi anggota dengan
profesionalisme manajemen
dalam menentukan keberhasilan koperasi untuk
mencapai tujuan sebagai berikut:
Profesionalisme manajemen/
Partisipasi anggota
Partisipasi anggota Tinggi
Partisipasi Anggota Rendah
Sumber: Ropke (1988), dalam
Sugiyanto (2006)
Tabel 3. Model Matrik
Positioning
Profesionalisme tinggi
Koperasi berkembang baik
Koperasi mati pelan-pelan
Profesionalisme rendah
Koperasi berkembang lambat
Koperasi mati dengan segera
Apabila matriks ini
digunakan untuk memotret kondisi sembilan koperasi
sampel yang diobservasi,
maka positioning-nya adalah sebagai berikut:
1. Koperasi berkembang baik:
3 koperasi atau 33,33 persen (KPSBU Lembang,
KSP Trisula Majalengkan dan
KSP Surya Abadi Mandiri).
2. Koperasi berkembang
lambat: 2 koperasi atau 22,22 persen (KUD Trisula, KUD
Harapan Tani).
3. Koperasi mati pelan-pelan
: 3 koperasi atau 33,33 persen (GKSI Jawa Barat,
Puskud Sumatera Utara, dan
KUD Karya Teguh).
4. Koperasi mati dengan
segera : 1 koperasi atau 11,1 persen (KUD Setia Tani,
Sumatera Utara).
Dari uraian ini terdapat
beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh oleh
koperasi dalam rangka
mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang baik,
dibangun dengan perencanaan
dan strategi bisnis yang matang yang dimulai dengan
tahapan:
(1) identifikasi kekuatan
dan kelemahan internal perusahaan;
(2) identifikasi peluang dan
tantangan lingkungan bisnis eksternal;
(3) identifikasi dan
analisis peluang pasar;
(4) segmentasi pasar;
(5) repositioning; dan,
(6) merancang strategi
pemasaran yang tepat (product, place, promotion dan price)
atau strategi bisnis.
Sejauh ini belum terdapat
fakta empiris bahwa telah terdapat koperasi yang
telah melakukan positioning
ataupun repositioning dalam hal pengelelolaan
sumberdaya, kelembagaan
maupun usahanya. Dengan demikian belum terdapat
contoh best practice yang
dapat dijadikan rujukan dan replikasi bagi koperasi
lainnya. Koperasi di
Indonesia, nampaknya masih bergulat dengan kondisi dan
masalah internalnya.
Kesimpulan Dan Rekomendasi
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian
empiris ini dapat disimpulkan bahwa prospek koperasi
dilihat dari perspektif ilmu
manajemen bisnis sesuai dengan enam pertanyaan
penelitian yang diajukan
adalah sebagai berikut :
1). Dari sudut pandang
disiplin ilmu manajemen bisnis, perubahan lingkungan
bisnis global mendorong
organisasi koperasi untuk menerapkan disiplin ilmu
manajemen modern yang
mendorong reformulasi tujuan dan strategi,
restrukturisasi, dan
realokasi sumberdaya kearah yang lebih inovatif untuk
menciptakan keunggulan
kompetitif di pasar. Ditinjau dari perspektif tersebut
praktek manajemen di
koperasi saat ini sudah jauh tertinggal dan menjadi tidak
relevan dengan tuntutan
jaman.
Perkembangan koperasi di
Indonesia yang cenderung lamban atau bahkan
stagnant ditengarai oleh
kelemahan fundamental dalam penerapan fungsi-
fungsi manajemen sehingga
proses manajemen terhambat. Proses perencanaan
berlangsung tanpa
mengindahkan kaidah perencanaan yang baik dan benar.
Orientasi perencanaan lebih
kepada tujuan jangka pendek karena lemahnya visi
perencanaan jangka panjang
untuk mengantisipasi perubahan lingkungan
bisnis. Kondisi ini
menyebabkan bisnis koperasi kebanyakan gagal memberikan
manfaat ekonomi yang lebih
baik bagi para anggotanya. Pengelolaan usaha
koperasi banyak yang tidak
efisien dan belum sesuai dengan kepentingan
anggotanya. Koperasi
terkesan hanya menjalankan fungsi dagang tanpa
kemampuan menciptakan nilai
tambah.
Kondisi masyarakat Indonesia
dewasa ini yang sudah semakin pragmatis dan
rasional akan beralih kepada
lembaga ekonomi yang mampu memberikan
manfaat ekonomi yang lebih
baik. Mengamati fenomena yang ada, dapat
diprediksi bahwa beberapa
jenis koperasi akan kehilangan maknanya sebagai
lembaga ekonomi. Hanya
beberapa jenis koperasi seperti KSP (single
purpose), Kopdit, dan
koperasi peternakan (single commodity multi purpose)
yang mampu bertahan dalam beberapa
tahun ke depan. Dari sudut kebijakan
makro, berkembangnya bisnis
simpan pinjam koperasi tidak terlepas dari
ketatnya regulasi dan
pembinaan pemerintah melalui penilaian kesehatan, dan
standarisasi sistim
pengelolaan.
4.2. Rekomendasi
Pihak manajemen di koperasi
dalam hal ini pengurus dan manajer harus segera
meninggalkan cara-cara lama
(konvensional) dalam pengelolaan koperasi
dengan mengadopsi dan
mengadaptasi manajemen bisnis modern. Melakukan
reformulasi tujuan koperasi
sesuai dengan tuntutan kebutuhan anggota yang
dinamis dan tuntutan
persaingan.
Pihak manajemen di koperasi
perlu memperbaiki kinerja koperasi dengan
mengembalikan peran dan
funsi koperasi yaitu kepada yang seharusnya yaitu
koperasi yang berlandaskan
dasar-dasar self help (menolong diri sendiri), self
relience (percaya diri),
self responsibility (bertanggung jawab atas dirinya),
sehingga dengan demikian
kaidah-kaidah koperasi yaitu efisiensi secara
keseluruhan dan khususnya
dalam pelayanan anggota dapat diciptakan.
Kebutuhan akan implementasi
manajemen modern di koperasi harus tumbuh
dari lingkungan intrnal
koperasi, meskipun pada tahap awal pemerintah dapat
bertindak sebagai agen
perubahan untuk memprakarsai proses perubahan sikap
dan prilaku pihak manajemen
koperasi melakukan bencmarking manajemen
modern dari berbagai sumber.
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond, (2007).
Revitalisasi Koperasi. Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas
Pemaparan Hasil-Hasil
Penelitian Koperasi. Yogyakarta.
Bernardin, H. John. et. al.,
(1993). Human Resource Management, An Experiential Approach,
International Edition: Mc
Graw-Hill, Inc, Singapore.
Budiono, (1986). Ekonomi
Mikro, Yogyakarta : BPFE-UGM.
Creech, B., (1996). Lima
Pilar TQM, diterjemahkan oleh Sindoro A, Binarupa Aksara.
Dulfer, Eberhard, (1994).
Corporate Culture of Cooperatives, Dalam International Handbook of
Cooperative. Vandenhoeck
& Ruprecht, Gottingen.
Dulfer, Eberhard (1994).
Evaluation of Cooperative Organization, Dalam International
Handbook of Cooperative. Vandenhoeck
& Ruprecht, Gottingen.
Dulfer, Eberhard, (1994).
Structural Types of Cooperatives, Dalam International Handbook of
Cooperative. Vandenhoeck
& Ruprecht, Gottingen.
Ferguson, C.E., (1984).
Micro Economic Theory, New York, Mc Graw-Hill.
Gaspersz, Vincent, (1997).
Manajemen Bisnis Total, Penerbit Afabeta, Bandung.
Gibson, James L. et. al.,
(1995). Fundamentals of Management, Richard D. Irwin, Inc.
Gupta, V.K. et. al., (1985).
Guidance for Agricultural Cooperative Management, IIM,
Ahmadabad, India.
Hanel, Alfred, (1985). Basic
Aspect Of Cooperative and Political for their Promotion in
Developing Countries,
Marburg, West Germany.
Hanel, Alfred, (1985).
Oficialization of Cooperatives, Marburg, West Germany.
Hann, Dietger and Kaufmann
Lutz, (1994). Strategic Aliances, International Handbook of
Cooperative. Vandenhoeck
& Ruprecht, Gottingen.
Hasibuan, Malayu S.P.,
(2005). Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit PT. Bumi Aksara,
Jakarta.
Hamid, Abdul, (2003).
Analisis Pengukuran Prestasi Kerja Karyawan, Tesis untuk memperoleh
Gelar Magister Manajemen di
Program MM, IKOPIN, Bandung.
Kasali, Rheinald, (2005).
Change Management, PT. Gramedia Pustaka Utama.
David, Keith, (1996).
Management, Sixth Edition, Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, New
Jersey.
Lewis and Smith, (1996).
Total Quality In Higher Education, Delray Beach, Florida, St. Lucie
Press.
Milkovich, George T. et.
al., (1988). Human Resource Management: A Diagnostic Approach,
Fith Edition: Business
Publication, Inc. Plano, Texas.
Mulawarman, Aji Dedi,
(2007). Mengembangkan Kompetensi Inti dan Konsep Bisnis Koperasi,
Digali Dari Realitas
Masyarakat Indonesia, Makalah disampaikan pada Diskusi
Terbatas Tentang
Profesionalisme Pengelolaan Koperasi Dalam Era Kompetisi Global,
Malang, Desember 2007.
Nirbito, J.G., (2007).
Profesionalisme Dalam Pengelolaan Usaha Koperasi Yang Berbasis
Nilai: Strategi Untuk
Mewujudkan Lewat Diklat dan Pemberlakuan Kode Etik, Makalah
disampaikan pada Diskusi
Terbatas Tentang Profesionalisme Pengelolaan Koperasi
Dalam Era Kompetisi Global,
Malang, Desember 2007. Jawa Timur.
Robert, Kreitner and Angelo
Kinicki, (1998). Organizational Behavior, Irwin/Mc Graw Hill.
R. Wayne Mondy. et. al.,
(1998). Human Resource Management, Prentice Hall International,
New Jersey.
Ropikoh, Opik, (2003).
Evaluasi Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Turunnya Perputaran
Modal Kerja dan Rentabilitas
Ekonomi Pada KUD Ciptaraharja. Tesis untuk
memperoleh gelar Magister
Manajemen pada program MM, IKOPIN. Bandung.
Ropke, Jochen, (1992). Strategic
Management of Self-Help Organization. Marburg, Germany.
Ropke, Jochen, (1995). The
Economic Theory of Cooperatives Enterprise in Developing
Countries, With special
Reference of Indonesia. Marburg, Germany.
Ryanto, Bambang, (1995).
Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, PT. BPFE, Yogyakarta.
Savitri Dewi, Lely, (2001).
Pengaruh Kualitas Kewirausahaan Pribadi Manajer Terhadap
Profitabilitas KSP Koperasi
di Kota Bandung, Tesis untuk memperoleh gelar Magister
Sain pada program Pasca
Sarjana Universitas Pajajaran. Bandung.
Sugiyanto, (2006). Pengaruh
Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap Kinerja
Keuangan, Promosi Ekonomi
Anggota dan Struktur Modal Koperasi Di Jawa Barat,
Disertasi Program Doktor
Ilmu Manajemen Universitas Pajajaran, Bandung.
Suryati, Lilis, (1997).
Partisipasi Anggota Dalam Kontribusi Modal dan Pemanfaatan
Pelayanan Koperasi
Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi Pada KUD
Ngupaya Mina, Indramayu,
Skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, IKOPIN,
Bandung.
Tjiptono dan Handoko,
(1997). Kepemimpinan dan Manajemen SDM dalam Lingkungan
Organisasi, TQM Magazine,
Vol. 7.
Umar, Ade, (2006). Pengaruh
Kompensasi dan Motivasi Kerja Terhadap Prestasi Kerja
Karyawan, Tesis untuk
memperoleh Gelar Magister Manajemen di IKOPIN.
Wherther, William B.,
(1996). Human Resource Personal Management, Fith Edition, Irwin-Mc
Graw Hill, International
Edition.
Wirasasmita, Yuyun, (1990).
Strategi Pembangunan Sektor Perkoperasian yang Mengerahkan
Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Koperasi, dalam Rusidi dan Maman
Suratman (penyunting),
Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembangunan Koperasi, Penerbit
IKOPIN, Jatinangor.
0 komentar:
Posting Komentar