Nama Kelompok :
Airin Akte Savira / 20210444 (airinsavira_04)
Dessy lestari / 21210848
(dessy.lestari)
Juni Erbina Saragih / 23210813 (junierbinasaragih)
Siti Amanah / 26210579 (siti_amanah10)
Yuli Chatrine Castro /28210741 (chaterinecastro)
Juni Erbina Saragih / 23210813 (junierbinasaragih)
Siti Amanah / 26210579 (siti_amanah10)
Yuli Chatrine Castro /28210741 (chaterinecastro)
sumber:http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/_6_%20Jurnal_Perberasan.pdf
Judul :
PROSPEK PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI
DALAM MASALAH PERBERASAN
Abstrak
Modifikasi kebijakan
di bidang beras yang dilakukan oleh pemerintah
sejak tahun 2001 tampaknya telah mengembangkan mekanisme pemasaran beras untuk
nasional saham. Koperasi kontribusi dalam mendukung pendapatan petani dan
ketersediaan stok beras nasional juga lebih terbatas. Kurangnya kondisi stok datang
dari dua tahun terakhir ini juga tampaknya tidak mampu mengubah persepsi terhadap
kepentingan peran koperasi untuk menjadi salah satu komponen penting di tingkat nasional
padi sistem. Dalam kondisi seperti ini, tampaknya masih koperasi berusaha untuk menjadi ada
antara lain dengan mengembangkan model ketahanan pangan beberapa saham seperti bank padi,
penyimpanan makanan, dan pusat-pusat pengolahan beras beberapa. Model ini menjamin beras
saham di pusat-pusat produksi serta di daerah defisit makanan dan secara bersamaan
mengurangi ketergantungan pada impor beras yang benar-benar mengancam ketahanan nasional
substansial. Keberadaan koperasi ini, meskipun relatif kecil, namun
menjadi indikator bahwa koperasi masih memiliki potensi untuk menjadi reinvolved untuk mendukung
sistem materi padi, Yang masih diperlukan hanya berpikir logis dari kebijakan
pembuat untuk merevitalisasi peran koperasi dalam mendukung program nasional
ketahanan pangan yang benar-benar lebih pasti.
sejak tahun 2001 tampaknya telah mengembangkan mekanisme pemasaran beras untuk
nasional saham. Koperasi kontribusi dalam mendukung pendapatan petani dan
ketersediaan stok beras nasional juga lebih terbatas. Kurangnya kondisi stok datang
dari dua tahun terakhir ini juga tampaknya tidak mampu mengubah persepsi terhadap
kepentingan peran koperasi untuk menjadi salah satu komponen penting di tingkat nasional
padi sistem. Dalam kondisi seperti ini, tampaknya masih koperasi berusaha untuk menjadi ada
antara lain dengan mengembangkan model ketahanan pangan beberapa saham seperti bank padi,
penyimpanan makanan, dan pusat-pusat pengolahan beras beberapa. Model ini menjamin beras
saham di pusat-pusat produksi serta di daerah defisit makanan dan secara bersamaan
mengurangi ketergantungan pada impor beras yang benar-benar mengancam ketahanan nasional
substansial. Keberadaan koperasi ini, meskipun relatif kecil, namun
menjadi indikator bahwa koperasi masih memiliki potensi untuk menjadi reinvolved untuk mendukung
sistem materi padi, Yang masih diperlukan hanya berpikir logis dari kebijakan
pembuat untuk merevitalisasi peran koperasi dalam mendukung program nasional
ketahanan pangan yang benar-benar lebih pasti.
I. Latar
Belakang
Sampai dengan akhir tahun 2006 Badan Pusat Statistik
menginformasikan bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM)
telah mencapai 48,634 juta unit, atau 99,99% dari jumlah dunia usaha ada di
Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 68,9%-nya bergerak di setor
tanaman pangan khususnya padi, baik sebagai pemilik lahan, penyewa atau
penyakap. Dengan perkataan lain sub sektor ini menjadi tumpuan hidup dari
33,508 juta kepala keluarga, atau lebih kurang 134,035 juta jiwa rakyat
Indonesia. Oleh karena besarnya jumlah rakyat yang hidup pada sub sektor
tersebut, maka fluktuasi harga bahan pangan khususnya beras secara langsung
mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka.
Rendahnya harga beras pada dua tahun terakhir diduga menjadi salah
satu penyebab berkurangnya minat petani untuk bertanam padi, yang berakibat
menurunnya produksi beras dalam negeri. Kekurangan beras di dalam negeri
memang dapat diselesaikan dengan mengimpor beras yang pada tahun 2005
mencapai 350.000 ton dan tahun 2006 mencapai 460.000 ton. Jumlah impor
yang dilakukan pemerintah ini diduga lebih kecil dari jumlah beras impor yang
masuk melalui jalur lainnya. Guna mengurangi beban impor maka pemerintah
bertekat meningkatkan produksi beras dalam negeri, untuk itu pemerintah
mendorong petani agar pada tahun 2007 terjadi tambahan produksi beras
sebanyak 2 juta ton. Usaha tersebut dilakukan melaui sistem terpadu yaitu
penyediaan sarana produksi dengan harga bersubsidi. Dorongan peningkatan
Sampai dengan akhir tahun 2006 Badan Pusat Statistik
menginformasikan bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM)
telah mencapai 48,634 juta unit, atau 99,99% dari jumlah dunia usaha ada di
Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 68,9%-nya bergerak di setor
tanaman pangan khususnya padi, baik sebagai pemilik lahan, penyewa atau
penyakap. Dengan perkataan lain sub sektor ini menjadi tumpuan hidup dari
33,508 juta kepala keluarga, atau lebih kurang 134,035 juta jiwa rakyat
Indonesia. Oleh karena besarnya jumlah rakyat yang hidup pada sub sektor
tersebut, maka fluktuasi harga bahan pangan khususnya beras secara langsung
mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka.
Rendahnya harga beras pada dua tahun terakhir diduga menjadi salah
satu penyebab berkurangnya minat petani untuk bertanam padi, yang berakibat
menurunnya produksi beras dalam negeri. Kekurangan beras di dalam negeri
memang dapat diselesaikan dengan mengimpor beras yang pada tahun 2005
mencapai 350.000 ton dan tahun 2006 mencapai 460.000 ton. Jumlah impor
yang dilakukan pemerintah ini diduga lebih kecil dari jumlah beras impor yang
masuk melalui jalur lainnya. Guna mengurangi beban impor maka pemerintah
bertekat meningkatkan produksi beras dalam negeri, untuk itu pemerintah
mendorong petani agar pada tahun 2007 terjadi tambahan produksi beras
sebanyak 2 juta ton. Usaha tersebut dilakukan melaui sistem terpadu yaitu
penyediaan sarana produksi dengan harga bersubsidi. Dorongan peningkatan
I. Latar Belakang
Sampai
dengan akhir tahun 2006 Badan Pusat Statistik
menginformasikan
bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM)
telah
mencapai 48,634 juta unit, atau 99,99% dari jumlah dunia usaha ada di
Indonesia.
Dari jumlah tersebut lebih kurang 68,9%-nya bergerak di setor
tanaman
pangan khususnya padi, baik sebagai pemilik lahan, penyewa atau
penyakap.
Dengan perkataan lain sub sektor ini menjadi tumpuan hidup dari
33,508
juta kepala keluarga, atau lebih kurang 134,035 juta jiwa rakyat
Indonesia.
Oleh karena besarnya jumlah rakyat yang hidup pada sub sektor
tersebut,
maka fluktuasi harga bahan pangan khususnya beras secara langsung
mempengaruhi
tingkat kesejahteraan mereka.
Rendahnya
harga beras pada dua tahun terakhir diduga menjadi salah
satu
penyebab berkurangnya minat petani untuk bertanam padi, yang berakibat
menurunnya
produksi beras dalam negeri. Kekurangan beras di dalam negeri
memang
dapat diselesaikan dengan mengimpor beras yang pada tahun 2005
mencapai
350.000 ton dan tahun 2006 mencapai 460.000 ton. Jumlah impor
yang
dilakukan pemerintah ini diduga lebih kecil dari jumlah beras impor yang
masuk
melalui jalur lainnya. Guna mengurangi beban impor maka pemerintah
bertekat
meningkatkan produksi beras dalam negeri, untuk itu pemerintah
mendorong
petani agar pada tahun 2007 terjadi tambahan produksi beras
sebanyak
2 juta ton. Usaha tersebut dilakukan melaui sistem terpadu yaitu
penyediaan
sarana produksi dengan harga bersubsidi. Dorongan peningkatan
produksi
padi juga dilakukan dengan cara menaikkan harga dasar pembelian
beras
oleh pemerintah (HPP) melalui Intruksi Presiden (Inpres) nomor 3 tahun
2007.
Berdasarkan Inpres tersebut HPP Gabah kering panen (GKP) naik dari
Rp.
1.723,- menjadi Rp. 2.000,- per Kg, Gabah kering giling (GKG) naik dari
Rp.
2.280,- menjadi Rp. 2.575,- per Kg, dan beras naik dari Rp. 3.550,- menjadi
Rp.
4.000,- per Kg.
Kenaikan
HPP juga didukung dengan kesiapan Perum Bulog untuk
membeli
gabah/beras dari petani, dengan dana sebanyak Rp. 6 Triliun, yang
diproyeksikan
dapat membeli beras dari petani sebanyak 1,5 juta ton. Perum
Bulog
juga telah mempersiapkan sebanyak 4.500 orang personil yang tersebar
diseluruh
Indonesia dan Kapasitas Gudang yang mencapai 3 juta ton. Kesiapan
Perum
Bulog ini telah memberikan optimisme yang cukup besar bahwa
pendapatan
petani akan dapat ditingkatkan dan petani akan terdorong untuk
meningkatkan
produksi gabah/berasnya, sehingga target kenaikan produksi
sebanyak
2 juta ton beras dapat dicapai.
Perhitungan-perhitungan
tersebut memang sangat menarik untuk dikaji
secara
lebih mendalam karena apa yang dikemukakan sesungguhnya masih
sangat
sederhana dan cenderung mengesampingkan banyak faktor yang lainnya,
yang
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan
petani.
Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Sebagian besar petani adalah
mereka
yang tergolong dalam kelompok pengusaha mikro dan pengusaha kecil,
dengan
kesiapan permodalan yang sangat sedikit sehingga akan sangat mudah
dipengaruhi
oleh flutuasi harga gabah/beras yang akan dijualnya; 2) Pola
produksi
dan konsumsi beras yang sudah beralih dari menyimpan gabah ke
menjual
gabah pada waktu panen (menurut Supriadi 1991 sebagian lebih dari
90%
gabah petani di Propinsi Jawa Timur di jual pada saat panen di sawah).
Dalam
hal ini bahkan menurut Soemardjan (1989) 64% petani menjual gabah
dengan
sistem tebasan (semasih belum di panen); 3) Kecenderungan Perum
Bulog
untuk membeli beras dan bukan gabah sehingga petani harus mempunyai
modal
tambahan untuk melakukan proses gabahnya menjadi beras; 4)
Keterbatasan
kemampuan Perum Bulog untuk berhubungan langsung dengan
petani
dan hanya berhubungan dengan mitra usahnya yaitu para pedagang besar
di
tingkat kabupaten; 5) Perubahan Status Bulog dari Badan menjadi Perum
yang
berorientasi pada profit, sehingga tidak memungkinkan bagi Perum Bulog
menjual
beras di bawah harga beli. Sedangkan diketahui bahwa pada musimmusim
panen
harga beli Perum Bulog sering berada di atas harga pasar; 6)
Pemilikan
sarana, ketersediaan personil dan mekanisme kerja Bulog dalam
pembelian
gabah beras petani belum menjamin dapat dilaksanakannya
pembelian
gabah/beras langsung dari petani; 7) Dari ke tujuh masalah di atas,
maka
bentuk dan pola pemasaran beras di dalam negeri cenderung bersifat
oligopoli,
di mana kelompok pedagang menjadi penentu harga (price maker),
sedangkan
petani hanya berperan sebagai penerima harga (price taker). Dari
berbagai
masalah tersebut, fungsi Perum Bulog sebagai lembaga penyangga
harga
(Price buffer) dengan segala keterbatasannya, bisa diragukan
efektifitasnya.
Departemen
Pertanian lebih lanjut menginformasikan bahwa pada Bulan
Maret,
April dan Mei dilakukan panen masing masing pada lahan seluas 1,45
juta
Ha, 1,9 juta Ha dan 1,55 juta Ha (Harian Republika tanggal 22 April 2007).
Dengan
perkataan lain selama tiga bulan ini saja, dengan asumsi produksi per
Ha
sebesar 4 ton, akan dihasilkan gabah kering giling sebanyak 19,6 juta Ton.
Jika
produksi gabah tersebut dikonversi dalam bentuk beras maka setiap
bulannya
akan ada produksi beras sebanyak 60% x 19,6 juta ton, atau sebesar
11,76
juta ton. Jika dari jumlah tersebut 90% dijual ke pasar bebas, maka pasar
akan
menampung produksi sebanyak 10,584 juta ton. Dari data yang
dikeluarkan
BPS tahun 2006 diketahui bahwa konsumsi beras per orang
perbulan
pada 2005 rata-rata sebanyak 10 Kg Dengan jumlah penduduk
Indonesia
sebanyak 220 juta, maka selama 3 bulan tersebut akan dikonsumsi
sebanyak
6,6 juta ton. Dengan demikian kelebihan produksi adalah sebesar
3,984
juta ton, sedangkan Perum Bulog hanya mampu menampung sebanyak 1,5
juta
ton (27,61%). Akibatnya akan ada surplus pasar sebanyak 2,484 juta ton.
Yang
menjadi pertanyaan adalah: 1) Apakah jumlah surplus yang lebih besar
dari
daya tampung Bulog (suplai di pasar meningkat, sedangkan demand tetap),
tidak
mempengaruhi keseimbangan pasar, yang secara langsung akan
menurunkan
harga beras ditingkat petani?; 2) Apakah Perum Bulog dapat
menjual
langsung produk yang sudah dibelinya ke pasar bebas, agar cashflownya
tidak
terganggu ?; 3) Apakah Perum Bulog sudah mempersiapkan, sarana,
personil
dan mekanisme pembelian gabah/beras langsung dari petani ?
Setelah
satu bulan HPP baru ditetapkan dan panen mulai terjadi
dibeberapa
daerah terlihat adanya kecenderungan bahwa nasib petani tidak
banyak
berubah. Pada awal musim panen ada kecenderungan harga meningkat
dan
berada di atas HPP yang ditetapkan seperti yang terlihat di Indramayu Jawa
Barat,
dimana harga GKG pernah menyentuh Rp. 2.700,- per kilogram, tetapi
setelah
panen berjalan satu minggu harga turun sampai dengan Rp. 1.800,- per
Kg.
Demikian juga yang terlihat di Jawa Timur. Sampai dengan akhir April
tahun
2007, setelah panen diperkirakan mencapai 1 juta ton GKG dan Perum
bulog
Regional Jawa Timur mentargetkan dapat menyerap Gabah Beras
sebanyak
650.400 ton ternyata baru teralisir sebanyak 12.200 ton atau 1,876%
dari
yang ditargetkan.
Fenome
di atas menimbulkan banyak pertanyaan yang bisa membuat
orang
pesimis. Demikian juga dengan kesiapan personil Bulog yang jumlahnya
hanya
4.500 orang, sedangkan jumlah desa di Indonesia sekarang ini sudah lebih
dari
90.000 unit. Dengan perkataan lain akan menimbulkan pertanyaan apakah
satu
orang personil Perum Bulog dapat melayani 20 desa atau lebih. Data di atas
sudah
menjawab pertanyaan ini, tetapi semua pertanyaan tersebut di atas
akhirnya
mungkin akan bermuara pada pertanyaan dasar yaitu : ”Apakah
peningkatan produksi beras nasional hanya ditujukan untuk
mencukupi
kebutuhan beras dalam negeri, dengan mengesampingkan tujuan
pemberdayaan petani sebagai UMKM yang perlu dilindungi
kepentingan
ekonominya dan Apakah kebijaksanaan ini sudah dilengkapi
dengan
kesiapan sistem kelembagaannya”.
Dalam
upaya mendukung program pengadaan beras nasional ini
memang
Perum Bulog sudah merangkul banyak pihak terutama para pedagang
beras
ditingkat Kabupaten dan juga koperasi Pertanian (Koptan). Dalam hal ini
Perum
bulog juga sudah menjalin kerjasama dengan Induk Koperasi Pertanian
(Inkoptan).
Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kapasitas Inkoptan
dan
Koptan tersebut dapat mendukung mekanisme pengadaan gabah beras oleh
Perum
Bulog ? Diketahui bahwa Koptan belumlah memiliki pengalaman karena
baru
mulai dibentuk pada tahun 1999. Koptan juga tidak memiliki sarana yang
memadai
untuk melaksanakan kegiatan yang cukup besar dan cukup rumit
tersebut.
Dalam hal ini timbul pertanyaan lagi mengapa Perum Bulog tidak
merangkul
Koperasi Unit Desa (KUD), yang notabene sudah memiliki
pengalaman
dan sarana pendukung yang cukup banyak baik berupa Gudang
Lantai
Jemur dan Kios (GLK) maupun Huler dan berbagai sana pendukung
lainnya.
II. Potensi Dan Kendala Koperasi
Keikutsertaan
Koperasi dalam Program Swasembada Pangan sudah
dimulai
sejak tahun 1974 dengan didirikannya Badan Usaha Unit Desa yang
kemudian
berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa. Selama lebih dari 30
tahun
tahun KUD secara aktif telah dilibatkan dalam kegiatan tersebut, tidak
saja
dalam pengadaan gabah/beras untuk menudukung stok beras nasional,
tetapi
juga dilibatkan dalam penyediaan sarana produksi padi (saprodi),
pengolahan
hasil dan pemasarannya kepasaran umum (pasar bebas). Potensi
Koperasi
yang dalam hal ini KUD dalam kegiatan pengadaan Gabah dan beras
dalam
beberapa Dasawarsa yang lalu memang cukup besar, baik dilihat dari
ketersedian
sarana, maupun ketersedian personil. Demikian juga sesungguhnya
KUD
mempunyai keterikatan usaha yang sangat kuat dengan petani, walaupun
keberhasilan
KUD pada waktu itu belum lagi optimal.
Disamping
potensi yang dimiliki KUD juga menghadapi banyak kendala
dan
permasalahan baik yang bersifat internal seperti kejujuran pengelola KUD
dalam
menggunakan dana pengadaan gabah/beras yang bersumber dari
pinjaman
pemerintah (dengan subsidi bunga), maupun masalah eksternal antara
lain
hubungan dengan komponen sistem lainnya seperti dengan petani dan
Perum
Bulog, yang tidak selalu kondusif. Pola hubungan dengan petani
seharusnya
dapat ditingkatkan seandainya KUD dapat membeli langsung gabah
beras
dari petani, tetapi pola pembelian seperti ini yang kemudian dikenal
dengan
Pola I, hampir tidak pernah dilakukan oleh KUD, karena adanya banyak
kendala
antara lain; a) petani sudah menjual dengan sistem tebasan; b) petani
tidak
memiliki lagi lumbung-lumbung untuk menyimpan gabah sehingga harus
menjual
gabahnya langsung di sawah sedangkan KUD dihadapkan pada
masalah
keterbatasan sarana angkutan dan personil agar dapat langsung
membeli
gabah petani di sawah, serta kebiasaan KUD untuk bekerjasama
dengan
para pedagang pengumpul (yang umumnya juga UMK yang anggota
KUD).
Kebiasaan
sebagian besar KUD untuk membeli gabah/beras dari
pedagang
pengumpul atau memberikan pinjaman modal kepada para pedagang
pengumpul
nampaknya tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa KUD belum
memberikan
dampak positif bagi para anggotanya. Hal ini dapat dibuktikan
dengan
besarnya fluktuasi harga di tingkat petani dari tahun 1983 samapai
dengan
tahun 1998 yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Koperasi Departemen
Koperasi
dan UKM pada tahun 1999. Fluktuasi rata-rata selama 15 tahun
tersebut
hanya sebesar 8,91% dengan yang tertinggi 11,29% tahun 1991 dan
terendah
6,64% tahun 1996. Angka fluktuasi ini akan sangat berbeda juka
dibandingkan
dengan keadaan tahun 2004 samapi dengan tahun 2006 yang ratarata
mencapai
17,89%.
Dari
data diatas mungkin dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
keikutsertaan
KUD dalam pengadaan gabah beras stok nasional dapat menekan
fluktuasi
harga yang secara langsung mengurangi kerugian petani. Dari sini
selanjutnya
dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya KUD mempunyai potensi
untuk
menjadi stabilisator harga ditingkat petani, dan apa yang dilakukan KUD
dalam
pelaksanaan program ini seperti kerjasama sama dengan para pedagang
pengumpul
masih bisa ditolerir, karena para pedagang itu sendiri adalah
kelompok
UMKM yang notabene juga adalah anggota KUD. Yang tidak dapat
ditolerir
adalah kerjasama KUD dengan para pedagang besar yang dikenal
dengan
istilah Sleeping patner. Tetapi kasus ini relatif kecil dan dari hasil
penelitian
Badan litbang koperasi tahun 1995 diketahui kasus tersebut hanya
melibatkan
12,8% KUD yang ikut dalam Program Pengadaaan Pangan, terutama
di
daerah-daerah sentra produksi seperti di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan.
Hal
inipun terjadi karena adanya pembatasan dan aturan yang dikeluarkan oleh
Bulog
yang sangat ketat dalam hal pemenuhan kualitas gabah beras yang
disetorkan
oleh KUD.
Berbeda
dengan kondisi sebelum tahun 2000-an, sekarang Perum Bulog
secara
terang-terangan menyatakan telah mampu memenuhi 16% dari target
pengadaan/Beras
produksi dalam negeri melalui usaha kemitraan dengan para
pedagang
beras ditingkat kabupaten (biasa disebut pemilik tempat penampungan
gabah/beras
atau TP) yang merupakan patner usahanya. Kerjasama dengan para
pedagang
ini jelas legal apalagi menghadapi era keterbukaan yang
memungkinkan
Perum Bulog dapat bekerjasama dengan siapa saja yang bisa
mendukung
tujuan pemenuhan stok beras nasional. Yang menjadi pertanyaan
apakah
dengan pola ini harga gabah ditingkat petani sudah membaik, sehingga
dapat
mendorong petani untuk lebih meningkatkan lagi produksi gabahnya.
Untuk
mendapatkan jawaban kongkrit atas pertanyaan ini mungkin masih
memerlukan
waktu satu atau dua tahun kedepan, tetapi yang pasti fluktuasi
harga
yang cukup besar ditingkat petani merupakan indikasi awal bahwa petani
masih
menjadi komponen sistem yang terlemah (hanya sebagai price taker)
dalam
sistem perberasan. Dalam hal ini mungkin dapat disitir pernyataan
Sweezi
(1978) yang mengatakan bahwa dalam suatu sistem, in-efisiensi yang
terjadi
dalam sistem tersebut akan ditanggung oleh komponen sistem yang
terlemah.
Hal inilah yang patut diwaspadai, karena bila terjadi maka petani tidak
akan
dapat banyak menerima manfaat dari kebijakan perberasan yang sekarang
berlaku
dan berakibat pada tidak adanya rangsanga bagi petani untuk
meningkatkan
produksi beras.
Permasalahan
diatas nampaknya merupakan derivasi dari masalah pokok
dalam
sistem perberasan di Indonesia selama lebih dari enam puluh tahun, yaitu
belum
adanya kelembagaan yang berfungsi optimal dalam mengatur
pendistribusian
sumberdaya dan margin dari sistem perberasan diantara semua
komponen
sistem dalam sistem tersebut yaitu petani produsen, konsumen dan
pedagang.
Di era orde baru koperasi ditetapkan sebagai kelembagaan dalam
sistem
perberasan, tetapi peran koperasi belum juga dinilai optimal karena
masih
adanya berbagai kendala yang seharusnya dapat diselesaikan melalui
kebijakan
yang bersandar pada konsep optimalitas dan bukan maksimalitas
peran
dari lembaga tersebut. Koperasi dalam hal ini memang merupakan
kumpulan
orang yang memiliki kepentingan yang sama (homogen). Orangorang
tersebut
bersatu dalam wadah koperasi untuk meningkatkan
kesejahteraannya,
dalam arti bila petani, maka yang diinginkan adalah
mendapatkan
harga jual yang lebih baik, sehingga margin yang diterima akan
lebih
besar. Sedangkan bagi konsumen yang diinginkan adalah harga beli yang
rendah.
Dengan demikian menyatukan kedua keinginan tersebut dalam satu
wadah
kelembagaan nampaknya akan mendapatkan kesulitan, oleh sebab itu
diperlukan
dua bentuk kelembagaan koperasi yaitu koperasi produsen atau
koperasi
petani dan koperasi konsumen.
Konsepsi
yang demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha
yang
memiliki peran strategis bagi anggotanya baik petani maupun konsumen.
Dalam
era orde baru selama lebih dari duapuluh tahun, koperasi terutama KUD
mampu
memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam
program
pengadaan pangan nasional. Peran KUD juga mau atau tidak mau harus
diakui
secara langsung telah mendukung keberhasilan pencapaian swasembada
beras
pada tahun 1985. Demikian juga jumlah produksi petani harus diakui
secara
signifikan dipengaruhi oleh ketersediaan prasarana dan sarana produksi
mulai
dari pupuk, bibit, obat-obatan, RMU yang juga dilakukan oleh KUD.
Demikian
juga keterlibatan KUD dalam pemasaran gabah atau beras telah
membantu
stabilitas harga gabah di tingkat petani. Peran koperasi dari sisi
konsumen,
menyangkut ketersediaan bahan pangan bagi konsumen terutama
diperkotaan
memang belum sebesar peran KUD di pedesaan dan hal ini
berkaitan
langsung dengan sistem pemasaran beras di perkotaan yang
merupakan
pasar bebas dan lebih berorientasi pada kualitas dan bukan
kuantitasnya
Memperhatikan
keberhasilan koperasi dalam mendukung sistem
perberasan
di Indonesia dan perubahan kebijakan yang secara tidak langsung
telah
menghapus peran tersebut memang seharusnya dapat dijadikan sebagai
bahan
kajian dalam menyelesaikan masalah perberasan yang dihadapi sekarang
ini.
Sebelum krisis di tahun 1997 terdapat lebih dari delapan ribu koperasi yang
turut
berperan dalam mendukung program pengadaan pangan nasional. Dalam
era
reformasi jumlah dengan perubahan kebijakan terutama setelah tahun 2003
terjadi
penurunan menjadi kurang dari 2000 koperasi. Peran koperasi tersebut
juga
tidaklah sebesar sebelumnya karena tidak adanya dukungan kredit dari
pemerintah,
baik untuk tujuaan penyediaan sarana produksi maupun untuk
pengadaan
gabah beras dari petani. Perubahan kebijakan ini juga telah
mendorong
koperasi untuk melakukan inovasi anatara lain dengan membangun
model-model
pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung
pangan,
dan sentra-sentra pengolahan padi.
Perubahan
kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan
beras
memberikan dampak serius dalam mendukung produksi padi nasional.
Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :
356/MPP/KEP/5/2004
yang membebaskan penyaluran pupuk dilakukan baik
oleh
swasta maupun koperasi/KUD Indikasi yang terlihat dari ketidak populeran
dari
kebijakan ini adalah timbulnya masalah kelangkaan persediaan pupuk,
harga
pupuk yang sering jauh lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Demikian
juga terjadi kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta.
Peran
koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun drastis karena koperasi
tidak
didukung lagi oleh ketersediaan dana dari kredit pemerintah untuk
pembelian
pupuk. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40% atau 930
unit
dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat
dalam
tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam
hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi
dari
8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah
krisis
(tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam
menunjang
ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal
koperasi
selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai
jemur,
RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras,
dan
koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan
kenaikan
harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi
peningkatan
produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa
kemampuan
ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah.
Kekurangan
produksi gabah/beras di dalam negeri memaksa dilakukannya
impor
beras yang berarti kerugian ganda. Di satu sisi merupakan pengeluaran
devisa
untuk tujuan konsumtif, sedangkan disisi yang lain potensi sumberdaya
nasional
berupa lahan, dan tenaga manusia (SDM) tidak termanfaatkan dengan
optimal.
Kondisi ini tidak terlepas dari konsepsi pembangunan nasional yang
cenderung
masih berorientasi pada sektor industri untuk mengejar pertumbuhan
dalam
waktu cepat.
Dalam
kondisi mekanisme pasar yang belum menjamin posisi petani,
dan
bahkan belum tentu juga menjamin ketersediaan pangan nasional, koperasi
hadir
mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan
nasional.
Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran
mendasar
dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan
ketersediaan
pupuk dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan
pengolahan
gabah petani di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan
nilai
tukar dan income petani, membuka berbagai akses teknologi, informasi,
pasar,
dan bisnis kepada petani. Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah
mengembangkan
beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya
model
bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Modelmodel
ini
berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra
produksi
maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi
ketergantungan
terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial
mengancam
ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan koperasi
sebagai
lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam
perekonomian
pasar sangatlah diperlukan.
III. KEIKUTSERTAAN KOPERASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN
UMKM
Ketahanan
pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam
rangka
pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia berkualitas,
mandiri,
dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diwujudkan
ketersediaan
pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta
tersebar
merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat
(Dewan Ketahanan Pangan, 2002).
Ketahanan
pangan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996,
diartikan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman,
merata dan terjangkau. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber
hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
atau
minuman.
Beras
hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok
bagi
masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi pembangunan
nasional.
Pengalaman pada periode-periode awal pembangunan di tanah air
menunjukkan
bahwa kekurangan beras sangat mempengaruhi kestabilan
pembangunan
nasional. Bahkan hingga kini, bukan saja pada tingkat nasional,
daerah,
dan rumahtangga tetapi juga tingkat internasional dimana terlihat
besarnya
dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan persediaan pangan beras.
Dalam
rangka menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan
pangan
pokok ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil
langkah-langkah
kebijakan dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan
instansi
pemerintah untuk mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam
Negeri.
Departemen Koperasi adalah salah satu departemen yang sejak lama
telah
ditugaskan untuk menangani dan menyeleggarakan persediaan pangan
khususnya
beras bagi masyarakat. Dengan tanggung jawab ini dan disertai
dukungan
pemeritah, Departemen Koperasi telah menumbuhkembangkan
kegiatan
usaha dan bisnis koperasi di tengah masyarakat. Usaha koperasi yang
sudah
berjalan, telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi
lemah
dan telah berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air.
Sejumlah
fakta menunjukkan bahwa keberadaan organisasi koperasi di
sektor
pertanian diakui atau tidak sangat membantu petani dalam proses
produksi
pangan baik padi maupun palawija. Keberhasilan program Bimas dan
Inmas
di masa lalu tidak terlepas dari peranserta koperasi/KUD sejak dari
penyediaan
prasarana dan sarana produksi sampai dengan pengolahan hingga
pemasaran
produk.
Meskipun
demikian kini terjadi perubahan seiring berlangsungnya era
globalisasi
dan liberalisasi ekonomi. Untuk lebih mendorong dan mempercepat
pencapaian
ketahanan pangan, pemerintah kini telah mengeluarkan sejumlah
kebijakan
untuk penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Pengambilan kebijakan
ini
dianggap perlu untuk mempermudah ketersediaan pupuk di lokasi petani dan
penggunaannya
dengan harga terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang
menjamin
persediaan Dalam Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani
dapat
meningkatkan produksi gabah mereka yang berarti pada satu sisi
menjamin
persediaan gabah/beras di dalam Negeri dan pada sisi lain
meningkatkan
income mereka. Sementara di sisi pengadaan, dengan
kewenangan
luas yang diberikan kepada berbagai lembaga untuk terlibat dalam
pengadaan
pangan akan menjamin stabilitas persediaan Dalam Negeri.
Secara
umum, tujuan kebijakan yang diambil adalah baik, tetapi
beberapa
konsekuensi kini mulai muncul. Sebagai contoh, kebijakan penyaluran
pupuk
(Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004) memberikan
kewenangan
pada pihak-pihak swasta dan koperasi/KUD sebagai
penyalur/pengecer
pupuk ke konsumen. Berbeda dengan kebijakan sebelumnya
(Kepmen
Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998), kebijakan baru ini tidak
lagi
memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/KUD untuk menyalurkan
pupuk,
yang berarti peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk kini
menurun.
Perubahan
kebijakan ini memiliki konsekuensi dalam jangka pendek
mengganggu
sistem distribusi pupuk yang selanjutnya mengganggu
ketersediaan
pupuk bagi para petani. Kekurangan ketersediaan pupuk akan
mengganggu
produksi gabah petani. Kekurangan ketersediaan pupuk dan
penurunan
produksi gabah merupakan dua aspek yang saling mengikat. Karena
itu
kekurangan pupuk sudah tentu mengancam produksi petani, dan selanjutnya
kekurangan
beras mengancam ketahanan pangan yang akan berlanjut pada
akibat
kerawanan sosial. Penurunan kuantitas produksi petani berarti juga
penurunan
pendapatan mereka dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
petani
menurun. Secara nasional, penurunan produksi beras di satu sisi dan
peningkatan
permintaan beras di sisi lain akan membuka kran impor. Dalam
jangka
pendek impor beras berguna mengatasi kekurangan persediaan dalam
negeri,
tetapi dalam jangka panjang menguras sumberdaya domestik (menguras
devisa)
dan melemahkan stabilitas nasional.
Konsekuensi
perubahan kebijakan yang mengganggu sistem distribusi
pupuk
akan terlihat pada ketidaklancaran distribusi pupuk itu sendiri. Pemberian
kebebasan
kepada berbagai pihak untuk menyalurkan pupuk di satu sisi
sementara
di sisi lain pupuk sendiri merupakan “input/barang publik”, akan
merugikan
individu masyarakat (petani) yang menggunakannya secara enam
tepat.
Hal ini muncul disebabkan karena terjadi monopoli dan tindakan-tindakan
lainnya
untuk mengambil keuntungan sendiri dan merugikan para pelaku lain.
Hal
ini nyata dan telah dirasakan oleh petani yang kesulitan mendapat pupuk
dengan
harga di atas HET. Di sisi lain koperasi/KUD yang terkena dampak
kebijakan
tersebut telah menghadapi kondisi “idle capacity.” Indikasi idle
capacity koperasi
juga terlihat pada penurunan jumlah koperasi yang berfungsi
melayani
kegiatan pengadaan pangan.
Keseluruhan
konsekuensi ini menunjukkan bahwa perubahan suatu
kebijakan
dapat menguntungkan sebagian pelaku tetapi juga merugikan pelaku
lain.
Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui
suatu
kebijakan
yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau
konsumen)
tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan
kedua
pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan
perilaku
setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar.
Perubahan
perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusankeputusan
mereka
dan teridentifikasi dalam aspek-aspek seperti terjadi excess
demand dan shortage
supply atau sebaliknya, harga pasar yang meningkat atau
menurun,
serta peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta
lembaga
yang membawahinya.
Selalu
terdapat konsekuensi dari intervensi pemerintah ke pasar melalui
kebijakan
yang diambil, tetapi yang terpenting adalah tujuan yang hendak
dicapai.
Jika tujuannya adalah peningkatan produksi untuk menjaga stabilitas
ketersediaan
pangan dalam negeri, maka pemerintah harus menyediakan
anggaran/biaya
untuk mengkompensasi konsekuensi yang timbul akibat
perubahan
kebijakan yang diambil itu. Anggaran/biaya dimaksud disebut
sebagai
biaya pengadaan produksi pangan. Kompensasi ini memiliki arti ada
resiko
yang harus dibayar sebagai akibat kesalahan pengambilan kebijakan.
Dengan
demikian, jika kebijakan distribusi pupuk yang diambil teridentifikasi
sangat
kuat mengancam produksi petani (karena petani sebagai pelaku utama
supply side)
maka secara substansial kebijakan tersebut tidak layak.
Mempelajari
perilaku para pelaku pasar yakni koperasi/KUD dan nonkoperasi
(swasta)
dalam distribusi pupuk, akan diketahui keputusan-keputusan
yang
mereka ambil. Dapat juga diketahui seberapa besar penawaran dan
permintaan
pupuk pada masing-masing pihak, apakah terjadi excess demand dan
excess supply pupuk,
dan seberapa besar harga pupuk di pasar berada di atas
HET.
Apakah penyaluran pupuk oleh masing-masing pelaku sampai ke tangan
petani
sesuai prinsip enam tepat? Juga dapat dibandingkan pelaku mana yang
menyalurkan
pupuk sesuai tujuan kebijakan distribusi pupuk.
Ketimpangan
peran koperasi akibat idle capacity yang dialami
berpeluang
mengganggu pencapaian ketahanan pangan. Hal ini disebabkan
karena
: (1) koperasi berperan dalam pembinaan produksi gabah petani (secara
tidak
langsung melalui penyaluran pupuk), (2) koperasi melakukan pengadaan
dan
pengolahan gabah/beras petani, dan (3) koperasi menyalurkan beras kepada
konsumen.
Mengenai pembinaan produksi, koperasi membawahi sekian banyak
petani
sehingga penyaluran pupuk yang tepat akan memberikan jaminan bagi
produksi
petani. Dalam pengadaan dan pengolahan gabah/beras, sering terjadi
surplus
produksi disaat panen raya yang menyebabkan harga gabah jatuh, dan
kualitas
gabah rendah seiring musim penghujan di saat panen.
Untuk
menjamin nilai tukar petani, mengatasi penurunan kualitas
gabah/beras,
dan menjamin bahwa surplus gabah tersebut aman untuk tersedia
dengan
kualitas dan kuantitas yang dikehendaki bagi ketahanan pangan,
koperasi
hadir dengan perannya. Koperasi telah mengembangkan model bank
padi,
lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi yang berfungsi
mengatasi
kesulitan-kesulitan petani memasuki mekanisme pasar dan menjamin
pengadaan
gabah/beras bagi ketahanan pangan.
IV. PENUTUP
Perubahan
kebijakan dibidang perberasaan yang dilakukan oleh
pemerintah
sejak tahun 2001 ternyata telah membangun mekanisme pasar
gabah/beras
menjamin posisi petani, yang sekaligus juga tidak menjamin
ketersediaan
beras untuk stok nasional. Sumbangan koperasi baik dalam
mendukung
pendapatan petani dan ketersedian stok beras nasional juga semakin
terbatas.
Kondisi kekurangan stok telah terasa selama dua tahun belakangan ini
juga
ternyata belum mampu merubah persepsi terhadap kepentingan peran
koperasi
untuk kembali menjadi salah satu komponen penting dalam sistem
perberasan
nasional. Dalam kondisi seperti itu ternyata koperasi masih berusaha
untuk
eksis antara lain dengan mengembangkan beberapa model pengamanan
persediaan
pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentrasentra
pengolahan
padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan
gabah/beras
baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan
sekaligus
mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya
secara
substansial mengancam ketahanan nasional. Eksistensi koperasi ini
walaupun
relatif kecil tetapi menjadi indikator bahwa koperasi masih memiliki
potensi
untuk kembali diikutsertakan dalam mendukung sistem perberasan.
Tinggal
lagi yang diperlukan adalah adanya pemikiran logis dari para pengambil
kebijakan
untuk menumbuhkan kembali peran koperasi dalam mendukung
program
ketahanan pangan nasional yang secara nyata semakin tidak menentu.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymus,
(2002). Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Pemantapan
Pangan
Nasional. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.
-------------,
(2007). Kenaikan HPP Gabah /Beras diharapkan akan mendorong petani
untuk meningkatkan produksi pad. Harian Republika tanggal 26 April tahun
2007.
Nasution
Muslimin, (1991). Pengembangan Peran Koperasi senbagai kelembagaan
dalam sistem penyediaan Pangan Nasional. Badan Litbang Koperasi
Departemen
Koperasi Dan UKM. Jakarta.
Soetrisno
Noer, (1992). Mekamisme pasar gabah beras dan Permasalahan yang
dihadapi Koperasi dalam mendukung program Pengadaan Pangan
Stok
Nasional. Badan
Litabang Koperasi UKM, Departemen Koperasi dan UKM.
Jakarta
Safuan, (1994). Kajian
Efektifitas Pola Pemasaran Beras di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar